PROGRAM “Makan Bergizi Gratis” (MBG) sejatinya adalah salah satu janji manis pemerintah. Sebuah program yang secara moral tidak terbantahkan: memberi makan anak sekolah, menekan angka stunting, dan membangun generasi cerdas. Di atas kertas, MBG tampak seperti malaikat. Tapi di lapangan, sayangnya, malaikat ini ternyata hobi masak pakai bahan kadaluarsa—secara harfiah dan politis.
Dulu kami pikir negara sedang belajar menyuapi anak-anaknya. Hari ini, kami ragu: jangan-jangan negara sedang meracuni mereka secara perlahan. Program “Makan Bergizi Gratis” (MBG), yang semula digadang-gadang sebagai mahakarya pemerintah dalam mengentaskan kelaparan dan gizi buruk, kini menjelma menjadi lelucon pahit nasional: “Makan Beracun Gratis.”
Dapur-dapur MBG, yang seharusnya menjadi dapur harapan, kini lebih mirip dapur mafia—gelap, bau amis anggaran, dan penuh racun kepentingan.
Beberapa kasus keracunan makanan di sekolah menjadi sorotan utama. Anak-anak muntah setelah makan. Tapi yang lebih muntah adalah nurani publik yang melihat betapa ceroboh dan serampangnya pengelolaan program ini. Belum juga sembuh dari trauma nasi basi, publik dihadapkan pada kenyataan yang lebih busuk: banyak Dapur MBG ternyata fiktif.
Ya, dapur yang tak pernah memasak, tapi selalu kenyang menerima anggaran. Sebuah inovasi baru dalam dunia korupsi: ghost kitchen untuk ghost children, tapi dananya real—langsung dari APBN/APBD. Negara kita memang jenius: bisa menciptakan makanan tanpa memasak, dan menciptakan kebocoran tanpa terlihat.
Lebih miris lagi ketika jejak-jejak kekuasaan ikut mengepul dari balik panci MBG. Data yang berseliweran menunjukkan banyak dapur MBG dimiliki atau dikendalikan oleh anggota DPR dan DPRD—baik secara langsung maupun lewat perusahaan keluarga dan kolega. Ini bukan sekadar makan siang gratis, ini pesta politik gratis. Anak-anak kita jadi pasar suara masa depan, dan kotak makannya disiapkan langsung dari ruang sidang.
Apakah ini kebetulan? Atau ini menu baru dari demokrasi kita yang makin hambar: satu sendok populisme, dua sendok konflik kepentingan, lalu dikukus dalam uap anggaran negara?
MBG seharusnya menjadi program pemberdayaan lokal—mendorong UMKM, warung makan rakyat, hingga komunitas tani. Tapi justru yang kenyang adalah para elite politik dan kontraktor pengadaan yang tak pernah tahu rasanya antre makan di sekolah. Anak-anak disuruh makan, tapi kita semua tahu: yang sebenarnya lapar adalah para pemangku kekuasaan.
Bacaaja.co tidak sedang menolak ide makan gratis. Kami justru mendukung. Tapi kami juga percaya, makanan seharusnya tidak hanya bergizi—tapi juga jujur. Karena bila makanan datang dari niat busuk, hasilnya tidak akan pernah baik, seberapa banyak pun vitaminnya.
Jangan salahkan rakyat kalau mulai menyebutnya “Makan Beracun Gratis”—karena yang meracuni bukan cuma lauknya, tapi juga sistem yang membungkusnya.
Bacaaja.co tak ingin sinis. Tapi fakta di lapangan terlalu tajam untuk dihaluskan. Maka izinkan kami menyimpulkan dengan satu kalimat pedas:
Kalau begini caranya, lebih baik anak-anak membawa bekal dari rumah—setidaknya kita tahu siapa yang masak, dan tidak ada tangan korup yang ikut mengaduk.(*)