BACAAJA, JAKARTA – Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN mulai jadi topik panas di Senayan. Bukan sekadar aturan teknis, tapi juga menyangkut arah besar tata kelola perusahaan milik negara—apakah mereka harus murni ngejar profit seperti perusahaan swasta biasa, atau tetap teguh menjalankan mandat pembangunan yang nggak melulu soal untung.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VI DPR RI bersama pakar hukum di Gedung Nusantara I, Kamis (25/9/2025), Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka menegaskan bahwa BUMN nggak boleh dilihat hanya dari kaca mata bisnis semata. Ia mengingatkan kembali Pasal 33 UUD 1945 dan TAP MPR Nomor 16 Tahun 1998 sebagai fondasi politik ekonomi nasional yang erat hubungannya dengan demokrasi ekonomi.
“Tidak perlu debat lagi, keuangan BUMN adalah keuangan negara,” tegas Rieke sambil merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah menegaskan hal itu sejak 2006. Menurutnya, penguatan transparansi dan integritas BUMN jadi kunci agar perusahaan plat merah benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir elite.
Rangkap Jabatan Rawan Konflik
Politisi PDI-Perjuangan ini juga ngasih sorotan ke Pasal 7 dalam revisi UU BUMN. Ia mendorong adanya larangan eksplisit bagi direksi, komisaris, maupun dewan pengawas untuk ambil keuntungan pribadi dari jabatannya. “Pejabat BUMN harus dipandang sebagai penyelenggara negara, sehingga tunduk pada pengawasan publik,” tambahnya.
Rieke bahkan menyinggung fenomena pejabat kementerian atau ASN yang juga duduk sebagai komisaris di BUMN. Menurutnya, praktik rangkap jabatan ini nggak efisien, rawan konflik kepentingan, dan harus segera dihentikan. “Dengan adanya inisiatif Presiden untuk merevisi UU BUMN, ini jadi pintu masuk larangan rangkap jabatan yang harus ditegaskan dalam undang-undang,” tegasnya.
Sementara itu, koleganya dari Fraksi Partai Golkar, Gde Sumarjaya Linggih alias Demer, mengingatkan bahwa revisi UU ini bukan pekerjaan gampang. Menurutnya, DPR dan pemerintah punya PR besar: menyatukan dua logika yang sering bertabrakan—profit dan benefit.
Contoh Nusa Dua Bali
Demer memberi contoh pembangunan kawasan Nusa Dua oleh ITDC. Secara hitungan bisnis, proyek itu “nggak pernah untung”. Tapi kalau dilihat dari sisi manfaat, kawasan itu sukses mengangkat pariwisata Bali ke level dunia. “Kalau bicara business judgment rule, rugi. Tapi kalau bicara benefit, Bali nggak akan kayak sekarang tanpa Nusa Dua,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan soal dilema hukum. Business judgment rule seharusnya melindungi direksi BUMN dari kriminalisasi kalau keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik ternyata merugi. Namun di Indonesia, penegakan hukum sering result-oriented: kerugian langsung dipakai sebagai alasan penyelidikan pidana.
Lebih jauh, Demer memaparkan alasan kenapa BUMN tetap relevan meski nggak selalu profit. Ada faktor keamanan, penugasan khusus (seperti pangan), riset dan inovasi, pembangunan daerah tertinggal, hingga proyek raksasa yang mustahil dikerjakan swasta. “Kalau kita kejar profit terus, berat kondisi negara berkembang kayak kita. BUMN tetap jadi pemacu pertumbuhan,” ujarnya.
Antara Mandat Publik Dan Profit
Menurutnya, revisi UU BUMN harus bisa bikin pembedaan yang jelas: mana aktivitas BUMN yang memang jadi mandat publik (dan butuh perlindungan hukum khusus), dan mana aktivitas komersial yang tetap tunduk pada logika korporasi murni.
Di ujung rapat, baik Rieke maupun Demer sepakat: keberhasilan revisi UU BUMN ada pada kemampuan DPR dan pemerintah menemukan formula hukum yang pas. BUMN tetap sehat secara bisnis, tapi juga nggak kehilangan ruhnya sebagai agen pembangunan. Dengan begitu, publik nggak cuma dapat laporan keuangan yang kinclong, tapi juga manfaat nyata di lapangan.(*)