Suara “tong-tong-tong” nyaring dari kentongan bikin Alun-alun Purbalingga ramai banget, baru baru ini. Festival Kentongan 2025 resmi digelar, dan suasananya benar-benar kayak pesta rakyat.
Sepuluh grup kesenian lokal tampil total, bawa irama khas yang bikin penonton susah diem. Dari anak muda sampai orang tua, semua ikut larut dalam dentingan bambu yang jadi kebanggaan Purbalingga.
“Alhamdulillah, setelah sempat tertunda akhirnya bisa jalan juga. Ini bentuk nyata komitmen kita buat terus jaga budaya lokal, terutama kentongan,” kata Bupati Purbalingga, Fahmi M Hanif, di sela acara.
Fahmi bilang, di zaman serba digital kayak sekarang, anak muda udah banyak yang gandrung musik modern. Tapi bukan berarti seni tradisi harus kalah pamor.
“Kalau bukan kita yang nguri-uri budaya ini, siapa lagi? Kentongan itu bukan cuma bunyi bambu, tapi juga simbol gotong royong dan kearifan lokal,” tegasnya.
Festival ini bukan cuma buat seru-seruan, tapi juga jadi wadah buat ngangkat kembali seni tradisional khas Banyumasan. Selain kentongan, pemerintah juga terus dukung seni tari, karawitan, dan kesenian rakyat lainnya.
“Kita pengin anak-anak muda juga ikut terlibat. Biar mereka bangga sama warisan daerahnya sendiri,” tambah Fahmi.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Purbalingga, Tri Gunawan Setyadi, bilang ada 10 grup yang tampil. Di antaranya Kurawa, Satria Perwira, Kolokatung, Irama Sabuk Wulung (ISW), Karta Laras, Citra Nada, Natural Tone, Trisula Weda, Elja, dan Seniman Ghoib.
“Total hadiah yang disiapkan Rp11.750.000 plus piala,” jelas Tri Gunawan sambil senyum.
Kompetisi berlangsung sengit tapi tetap seru. Tiap grup punya gaya sendiri, dari yang klasik sampai yang dibumbui sentuhan modern.
Setelah semua tampil, dewan juri akhirnya ngumumin pemenangnya. Grup Seniman Ghoib berhasil nyabet juara 1, disusul Trisula Weda di posisi 2, dan Citra Nada di posisi 3.
Untuk kategori harapan, ada Natural Tone, Kalakatung, dan Irama Sabuk Wulung yang juga bawa pulang hadiah. Semua tepuk tangan meriah waktu nama-nama itu disebut.
Yang bikin makin keren, para pemenang bakal dikontrak tampil di Objek Wisata Goa Lawa (Golaga) selama setahun penuh bareng Perumda Owabong. Jadi, pengunjung bisa nikmatin wisata sambil denger kentongan live.
Tri Gunawan bilang langkah ini jadi bentuk nyata dukungan ke seniman lokal supaya punya panggung tetap dan penghasilan tambahan. “Kita ingin kesenian nggak cuma tampil di festival, tapi juga hidup di keseharian masyarakat,” ujarnya.
Acara makin rame waktu Bupati, Wabup Dimas Prasetyahani, dan Ketua TP PKK Syahzani Fahmi ikut nyalain kentongan bareng. Suara bambu yang beradu jadi simbol semangat bareng-bareng melestarikan budaya.
Sekda Herni Sulasti, Bunda Literasi Denita Dimas, dan jajaran OPD juga ikut meramaikan. Semua tampak menikmati vibe meriah sore itu.
Festival ditutup dengan arak-arakan simbolis dan penampilan kolaborasi dari beberapa grup kentongan. Penonton sampai enggan pulang karena suasananya hangat dan penuh kebanggaan.
Buat warga Purbalingga, kentongan bukan cuma alat komunikasi zaman dulu. Tapi juga lambang identitas, kekompakan, dan kreativitas yang terus hidup di tengah perubahan zaman.
Kentongan memang sederhana, tapi suaranya punya makna dalam. Dan lewat festival ini, suara itu dibunyikan lagi—keras, hidup, dan penuh semangat. (*)