BACAAJA, SEMARANG – Puluhan buruh perempuan di Semarang dirumahkan tanpa kepastian. Sudah bertahun-tahun mereka tak lagi masuk pabrik, juga tak menerima upah sepeserpun.
Mereka adalah para pekerja perusahaan garmen di Kawasan Industri Candi Semarang. Para buruh dirumahkan sejak pandemi Covid-19. Sekarang, untuk bertahan hidup, mereka terpaksa kerja serabutan. Kerja seadanya meski penghasilan tak menentu.
Ada pula yang hanya bisa menunggu kiriman anak. Karena sebagian dari mereka memang usianya sudah tidak produktif. Pada Selasa (30/9), 25 buruh itu akhirnya datang bersama LBH Semarang ke kantor Pengawas Ketenagakerjaan Jawa Tengah. Mereka melaporkan deretan pelanggaran yang selama ini mereka alami.
“Mereka menunggu kepastian pesangon yang sedang diperjuangkan lewat pelaporan ke Satwasker,” jelas pendamping buruh dari LBH Semarang, M Safali, Kamis (2/10). Berdasarkan hasil temuan, ternyata masalah yang mereka alami jauh lebih mengenaskan. Tak hanya soal dirumahkan tanpa kepastian.
Abaikan Hak Buruh
Kata Safali, ada beberapa pelanggaran telah bertahun-tahun dilanggengkan perusahaan dan mengabaikan hak-hak para buruh perempuan. Para buruh tak pernah diberi salinan perjanjian kerja. Padahal aturan jelas, kontrak kerja harus rangkap dua dan buruh berhak pegang satu.
Upah buruh perempuan yang rata-rata bekerja 10 sampai 35 tahun tidak sesuai UMK Semarang. Lebih parah lagi, tidak ada struktur skala upah untuk masa kerja di atas setahun. “Pasal 90 UU Ketenagakerjaan melarang upah di bawah minimum. Itu pidana, bisa kena penjara dan denda,” tegasnya.
Buruh juga dipaksa lembur sampai tiga jam per hari dan tetap bekerja pada hari Minggu demi target produksi. Tapi upah lembur tak pernah dibayar. Sebagian buruh bahkan tidak didaftarkan ke BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan. Padahal itu kewajiban perusahaan. (bae)