KALAU selama ini orang tua mikir tugas mereka cuma antar anak sekolah dan bayar iuran komite, tunggu dulu. Di era Makan Bergizi Gratis (MBG), ternyata mereka juga bisa “berperan” sebagai penanggung jawab resmi atas risiko… keracunan makanan. Iya, kamu nggak salah baca.
Viral di media sosial, beredar surat perjanjian MBG dari beberapa sekolah, paling ramai sih dari MTsN 2 Brebes, Jawa Tengah. Isinya? Ngajak orang tua buat tanda tangan surat berisi enam poin ajaib yang kira-kira bisa disingkat jadi: Kalau anak lo kenapa-kenapa, bukan urusan kami.
Mulai dari gangguan pencernaan, alergi, sampai keracunan makanan, semua udah dipaketin jadi tanggung jawab orang tua. Nggak cuma itu, kalau tempat makan anak hilang atau pecah, siap-siap rogoh kocek Rp80 ribu. Wah, sekelas Tupperware branded, nih?
Tapi tenang, kejutan belum selesai. Di poin terakhir, ada klausul “kode etik kerahasiaan”. Kalau ada kejadian luar biasa macam keracunan massal, orang tua dilarang nyebarin info ke siapapun. Pokoknya tutup mulut, simpan rapat-rapat, pura-pura nggak tahu. Transparansi? Apa itu?
Reaksi netizen? Udah pasti panas. Mulai dari yang ngakak satir, sampe yang geleng-geleng kepala, semua sepakat: ini surat perjanjian atau lembar pengalihan tanggung jawab?
Lucunya, kasus MTsN 2 Brebes ternyata cuma puncak gunung es. Pola serupa juga muncul di Cirebon dan Tanah Datar. Bentuk suratnya mirip banget, kayak copy-paste template Google Docs. Artinya? Ini bukan salah satu sekolah aja, tapi mungkin ada miskom kolektif soal panduan teknis dari pusat.
Melihat gelombang protes, Kementerian Agama Jawa Tengah lewat Kepala Kanwil-nya, Abdul Wahid, akhirnya mengumumkan pencabutan surat sakti ini. Dalam rapat koordinasi bareng Badan Gizi Nasional (BGN) dan Satuan Pemenuhan Gizi, diputuskan: Oke, surat ini resmi dicabut. Syukurlah, minimal sadar.
Drama MBG nggak berhenti di surat saja
Di Kabupaten Bandung, 12 siswa SDN Legok Hayam diduga keracunan makanan MBG. Langsung, Dinas Kesehatan setempat turun tangan, ambil sampel dari dapur dan… muntahan. Iya, kamu baca lagi, muntahan. Tes lab masih jalan, hasil tunggu 14 hari. Sabar, ya.
Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, bahkan ikut nimbrung. Ia kritik: “Ahli gizi jangan cuma nicipin masakan di akhir. Dari awal dong kasih arahan.” Bener juga, masa kayak acara MasterChef—datang di akhir buat nilai plating?
Cucun juga puji langkah Dinkes Bandung yang mau ngadain pelatihan khusus untuk ahli gizi MBG. Katanya sih biar bisa jadi contoh nasional. Well, semoga bukan cuma contoh buat difoto lalu dilupakan.
Di balik semua kekacauan ini, satu hal jadi jelas: program MBG yang niat awalnya mulia, bisa kacau kalau eksekusinya serampangan. Apalagi kalau implementasinya dipenuhi surat absurd yang malah bikin orang tua mikir dua kali sebelum anaknya makan gratis di sekolah.
Program Makan Bergizi Gratis semestinya jadi bentuk cinta negara ke anak-anak bangsa, bukan jadi ajang lempar tanggung jawab kayak main dodgeball. Kalau sampai orang tua yang disuruh tanggung risiko, lalu negara ngapain?
Jadi, pelajaran minggu ini: Gratis itu nggak selalu bebas risiko. Kadang, malah harus tanda tangan disclaimer.
Kalau kamu masih mikir makanan gratis itu tanpa drama, coba deh baca ulang paragraf ini. Atau lebih baik, baca label dan perjanjian dulu sebelum makan. Siapa tahu ada tulisan kecil: Segala efek samping bukan tanggung jawab penyelenggara.(*)