BACAAJA, WAMENA – Kalau bicara soal pendidikan di Indonesia, biasanya yang muncul di kepala kita adalah urusan kurikulum, zonasi sekolah, atau program Merdeka Belajar. Tapi di Papua Pegunungan, masalahnya jauh lebih mendasar — bahkan sebelum bicara soal kualitas, urusan akses dan kewenangan saja masih jadi tantangan.
Nah, itulah yang jadi sorotan tajam Komisi X DPR RI dalam kunjungan kerja mereka ke Wamena, Papua Pegunungan, awal Oktober 2025 ini. Salah satu anggotanya, Sabam Sinaga, terang-terangan bilang bahwa ada “handicap” serius dalam sistem pengelolaan pendidikan di Papua. Bukan karena SDM-nya kurang semangat, tapi karena sistemnya memang beda dari provinsi lain.
Di sebagian besar daerah di Indonesia, pengelolaan pendidikan menengah—SMA dan SMK—jadi urusan provinsi. Tapi di Papua, semua jenjang pendidikan, dari PAUD sampai SMA/SMK, dikelola oleh kabupaten/kota. Ini diatur oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Kedengarannya keren, karena memberi otonomi penuh ke daerah. Tapi efek sampingnya? Koordinasi dan standarisasi pendidikan jadi ribet banget.
“Provinsi tidak punya kewenangan langsung terhadap pendidikan menengah. Padahal koordinasi dan kebijakan pendidikan seharusnya mengalir dari provinsi ke bawah,” ujar Sabam saat diwawancarai di sela-sela kunjungan ke Yayasan Pendidikan PGI Napua Wamena.
Kondisi ini, kata Sabam, harus banget jadi bahan pertimbangan serius dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang lagi digodok di Senayan. Karena tanpa memahami konteks lokal Papua, regulasi nasional bisa-bisa malah timpang dan nggak relevan di lapangan.
“Undang-undang Sisdiknas yang lama sudah nggak nyambung lagi dengan realitas. Kami ingin revisi ini bisa menjawab kebutuhan semua provinsi, termasuk daerah otonomi khusus seperti Papua,” tegas Sabam, politisi dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Masalahnya, ketimpangan pendidikan di Papua bukan sekadar soal aturan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, rata-rata lama sekolah di Papua Pegunungan cuma 4,8 tahun, sementara secara nasional sudah lebih dari 8 tahun. Banyak anak-anak di sana yang bahkan belum sempat menyelesaikan jenjang dasar.
Kunjungan Komisi X ke Wamena membuka mata soal kondisi nyata ini. Di PGI Napua misalnya, sebagian besar guru masih berstatus volunteer alias sukarelawan, mengajar tanpa honor tetap, dengan fasilitas seadanya. “Kalau tenaga pengajar saja terbatas dan sebagian besar sukarelawan, bagaimana kita mau bicara peningkatan kualitas?” kata Sabam.
Bukan cuma itu, tim Komisi X juga menemukan masalah data. Banyak siswa yang harusnya dapat Program Indonesia Pintar (PIP) malah nggak terdaftar karena sistem Dapodik (Data Pokok Pendidikan) belum sinkron. Akibatnya, bantuan pendidikan sering meleset sasaran. “Ini masalah serius. Kalau data dasarnya saja salah, semua kebijakan ikut kacau,” tambah Sabam.
Pentingnya Kebijakan Alternatif
Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menegaskan, semua aspirasi dari masyarakat dan pemerintah daerah Papua Pegunungan akan ditindaklanjuti dengan langkah nyata. “Kami akan bawa hasil kunjungan ini untuk ditindaklanjuti dari sisi regulasi, anggaran, dan advokasi antar-kementerian,” ujar legislator Fraksi Golkar itu.
Hetifah juga menekankan pentingnya kebijakan afirmatif—mulai dari pemerataan guru, peningkatan fasilitas, sampai dukungan untuk pendidikan tinggi di wilayah timur Indonesia. “Kunjungan ini menunjukkan, kerja sama antara pusat, provinsi, dan masyarakat lokal itu kuncinya. Papua butuh kebijakan yang berpihak, bukan yang seragam,” ujarnya menutup pernyataan.
Intinya, kunjungan DPR kali ini bukan sekadar formalitas. Ada sinyal kuat bahwa revisi RUU Sisdiknas harus benar-benar ngaca ke realita, bukan cuma ke naskah akademik. Karena pendidikan di Papua Pegunungan bukan cuma soal gedung dan kurikulum — tapi tentang bagaimana negara hadir di tempat yang paling jauh, dengan cara yang paling relevan.
Kalau revisi RUU Sisdiknas nanti berhasil menjawab kompleksitas Papua, itu bukan cuma kemenangan bagi dunia pendidikan, tapi juga langkah nyata menuju keadilan sosial di seluruh pelosok negeri. Karena buat anak-anak di Wamena, mimpi tentang sekolah bukan soal gelar — tapi tentang kesempatan. Dan itu seharusnya jadi tanggung jawab kita semua.(*)