PERNAH nonton MasterChef, tapi politik? Itulah kira-kira vibes terbaru dari Istana ketika Prabowo ngaduk-ngaduk kabinet kayak lagi nyari bumbu yang pas buat nasi goreng ideologi. September ini, kita gak cuma dikasih tunjangan viral dari DPR, tapi juga suguhan reshuffle kabinet yang lebih panas dari sambal setan di warung kaki lima. Nama-nama menteri dicoret, diganti, dan dimasukkan lagi ke panci politik. Tapi pertanyaannya, ini masak buat rakyat atau buat geng dapur sendiri?
Highlight-nya? Sri Mulyani — Menkeu legendaris, ekonom pujaan pasar, dicoret kayak peserta audisi Indonesian Idol yang suaranya terlalu bagus buat TV. Gantinya? Purbaya Yudhi Sadewa. Siapa tuh? Ya… katanya ekonom juga. Tapi pasar langsung panik, rupiah goyang, IHSG turun, dan netizen bingung ini langkah ekonomi atau lagi nge-prank Bursa Efek. Sementara Prabowo bilang, “Saya mau bersih-bersih.” Tapi yang dibersihin kok bukan cuci piring, malah buang koki lama yang udah terbukti bisa masak nasi gak gosong.
Konon reshuffle ini katanya bukan soal politik, tapi soal kinerja. Tapi kita tahu, di dunia politik, semua soal kinerja… politikus. Beberapa nama yang dicopot tercium punya aroma kuat era Jokowi. Jadi, ini dapur baru dengan chef baru, atau dapur lama dengan bumbu lebih militeristik? Ditambah lagi, Sekretaris Kabinet-nya tentara aktif — jelas-jelas bikin UU TNI 2004 pengen nulis surat pembaca. Tapi yaudah lah, ini Indonesia, bukan Gordon Ramsay Show.
Netizen pun berisik, sebagian kecewa, sebagian malah bingung: “Lah, reshuffle lagi? Baru juga 100 hari kerja, Bang!” Tapi ya begitulah, Prabowo kayaknya gak mau nunggu lama. Bedanya sama Jokowi? Jokowi reshuffle setelah setahun; Prabowo baru ngopi dua kali udah nyari sendok baru. Alasannya? “Menteri harus kerja untuk rakyat.” Tapi apakah rakyat yang dimaksud itu kita-kita ini atau rakyat di lingkaran koalisi?
Yang makin bikin geli, reshuffle ini katanya demi percepatan program strategis nasional. Padahal, program yang dimaksud, kayak “lunch gratis”, belum jelas juga siapa yang masak, siapa yang makan, dan siapa yang bayar. Rakyat? Pasar? Atau future debt yang nanti diwarisin ke anak cucu? Resepnya belum jelas, tapi bumbu-bumbu politiknya udah ditumis dari sekarang.
Jadi, apakah ini benar-benar langkah pembersihan? Atau justru pembersihan citra buat menyiapkan kabinet loyalis, bukan profesionalis? Yang jelas, aroma reshuffle kali ini lebih ke arah “rechef” — cari chef yang gak banyak tanya, asal bisa ikut resep dapur Istana. Masalahnya, kita ini rakyat atau food tester?
Kalau dapurnya makin penuh sama orang yang nggak bisa masak, siap-siap aja, 5 tahun ke depan kita bakal disuguhi nasi hangus berlapis retorika. Jadi, siap-siap bawa garam sendiri, biar bisa kasih rasa kalau hidup kebanyakan janji.(*)