PARTAI Persatuan Pembangunan (PPP) tampaknya punya “kutukan sejarah” yang sulit dihindari: selalu pecah di setiap momentum krusial. Dari awal berdirinya pada 1973, partai ini sudah membawa potensi konflik internal. Bayangkan saja, PPP lahir dari kawin paksa empat partai Islam dengan kultur berbeda: NU, PARMUSI, PSII, dan PERTI. Dari titik awal itu, faksionalisme jadi semacam DNA politik mereka.
Pasca-Reformasi, bukannya makin cair, persaingan justru semakin keras. Kebebasan politik membuka ruang bagi ulama daerah, politisi birokrat, hingga patron bisnis untuk membentuk porosnya masing-masing. Bagi PPP, perbedaan ideologi versus pragmatisme elit birokratik jadi jurang permanen. Inilah kenapa hampir setiap muktamar selalu melahirkan kisah klasik: siapa ketua umum yang sah?
Dan benar saja, Muktamar X di Ancol, 27 September 2025, kembali menampilkan drama yang sama. Pimpinan sidang di satu sesi menyebut Muhamad Mardiono terpilih secara aklamasi. Ketuk palu, tepuk tangan, selesai—setidaknya di panggung itu.
Namun di panggung lain, Agus Suparmanto bersama pendukungnya juga mengklaim kemenangan. Bahkan ada tasyakuran segala. Hasilnya? Bukan euforia demokrasi internal, melainkan dualisme kepemimpinan ala sinetron politik yang terus berulang.
Bergantung SK Kemenkumham
Pertanyaannya: kenapa PPP gampang banget terjebak dalam dual claim? Pertama, karena mekanisme muktamar yang sering bergejolak. Begitu sidang ricuh, kubu yang pegang palu bisa langsung tutup sidang dan deklarasi aklamasi. Kubu lain tinggal bikin versi sendiri.
Kedua, karena finalitas kepemimpinan di PPP selalu bergantung pada SK Kemenkumham. Siapa yang lebih cepat mendaftarkan, biasanya unggul duluan di atas kertas, meski belum tentu menang di lapangan politik.
Implikasinya serius. Kalau kedua kubu benar-benar mendaftarkan kepengurusan, kita akan menyaksikan sengketa hukum yang panjang. Di sisi lain, basis kader dan pemilih Islam tradisional malah bisa kabur karena bingung harus ikut siapa. Koalisi pun bakal males bernegosiasi dengan PPP kalau nggak jelas siapa juru bicaranya.
Lalu, apa kemungkinan ke depan? Ada tiga skenario. Pertama, penyelesaian internal lewat mediasi para senior partai atau tokoh ulama. Kedua, tarik-menarik di ranah hukum dan administrasi yang bisa makan waktu berbulan-bulan. Ketiga, yang paling berbahaya, PPP hidup dengan dua struktur paralel: satu diakui negara, satu diakui basis. Kalau yang ini kejadian, jangan harap partai bisa solid menghadapi Pemilu 2029.
Berjuang Melawan Diri Sendiri
Yang harus kita pantau dalam dua minggu ke depan adalah siapa yang lebih dulu mendaftarkan kepengurusan ke Kemenkumham, bagaimana sikap tokoh senior seperti Romahurmuziy, dan respon DPW/DPC di daerah. Kalau mayoritas DPW condong ke satu kubu, pertarungan bisa cepat selesai. Tapi kalau terbelah rata, siap-siap drama panjang.
Buat kader PPP, pelajaran terpentingnya jelas: dokumentasikan proses, dorong transparansi, dan jangan jadikan AD/ART sebagai senjata tafsir sepihak. Buat pengamat politik, jangan buru-buru menyimpulkan siapa pemenang sebelum ada SK Kemenkumham. Dan buat partai-partai lain, sebaiknya jangan terlalu cepat menggandeng PPP dalam koalisi, kecuali siap menghadapi risiko punya mitra yang kepemimpinannya masih abu-abu.
Pada akhirnya, PPP sedang berjuang melawan dirinya sendiri. Pertanyaannya, apakah partai ini bisa lepas dari kutukan sejarah faksionalisme? Atau justru akan terus menjadi contoh klasik bagaimana politik Islam di Indonesia sering kali lebih sibuk bertarung soal kursi ketua, ketimbang memikirkan basis umat yang mereka klaim wakili?(*)
