BACAAJA, SEMARANG – Bayangin deh, lagi tenang beribadah, eh tiba-tiba ada yang ngaku-ngaku punya tanah tempat kamu sembahyang.
Ngeri kan? Itulah yang lagi dirasain umat Buddha di Vihara 2500 Buddha Jayanti, Semarang.
Ketua Yayasan Vajra Dwipa, Loekito Rahardjo Hidajat, bilang tanah vihara itu luas banget, sekitar 82 hektar. Dari dulu udah jadi tempat ibadah dan kegiatan sosial.
“Tanah ini dari zaman Belanda sudah dipakai buat umat,” kata Loekito, Selasa (14/10/2025).
Tapi belakangan, mulai muncul orang-orang yang entah dari mana, tiba-tiba nyangkul di situ.
Mereka minta surat keterangan penguasaan tanah ke kelurahan. Diduga surat itu mau dipakai buat klaim lahan.
Loekito curiga, surat-surat itu jadi celah buat perusahaan bernama PT RB masuk dan maksa patok lahan.
Biasanya sih di surat itu ada catatan, kalau nanti tanah disengketakan, surat dianggap nggak berlaku. Tapi tetap aja bisa dipakai buat proses ke BPN.
Katanya, pematokan udah jalan di banyak titik. Loekito juga bingung, soalnya sebagian tanah udah lama ditinggali warga. Mereka udah coba ngajak mediasi, tapi pihak perusahaan ngilang terus kayak ninja.
“Kami sudah mencoba mencari jalan damai dan mengajak bicara, tapi pihak mereka selalu menghindar,” jelasnya.
Masalahnya nggak cuma soal kertas atau batas tanah, tapi soal ibadah. Kalau sampai area vihara dipagar, umat bisa kehilangan tempat sembahyang.
Kebayang nggak sih rasanya, mau sembahyang aja takut disuruh minggir?
Yayasan udah coba cari kejelasan ke BPN. Tapi lagi-lagi, mentok di surat dari kelurahan. Syaratnya harus ada keterangan tidak sengketa. Tapi unat curiga, kelurahan udah ngeluarin surat serupa ke pihak lain.
Ketua FKUB Kota Semarang, Mustam Aji, akhirnya angkat suara. Dia bilang, rumah ibadah kayak gini harus dilindungi. “Kami akan bantu penguatan legalitasnya,” tegas Mustam.
Katanya lagi, FKUB siap bantu mediasi. Pemerintah kota juga diminta turun tangan biar status tanahnya jelas. Tempat ibadah yang udah berdiri lama jangan sampai terancam.
Menurut catatan FKUB, vihara itu udah berdiri dari tahun 1955. Lama banget kan?
Kalau dipikir-pikir, urusan kayak gini tuh miris banget. Udah jelas tempat ibadah, udah puluhan tahun berdiri, tapi masih aja bisa “digerogoti” surat.
Kadang hukum tanah tuh kayak teka-teki, yang kalah bukan yang salah, tapi yang kalah cepat urus dokumen. (bae)