BACA AJA, SEMARANG – Drama korupsi PT Cilacap Segara Arta (CSA) senilai Rp237 miliar makin seru. Kali ini, sorotan publik tertuju pada Ketua Yayasan Silmi Kaffah Rancamulya, KH Ahmad Yazid Basyaiban alias Gus Yazid.
Tokoh agama yang populer ini dipanggil Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah untuk diperiksa sebagai saksi, setelah namanya disebut menerima aliran dana Rp18 miliar dari Direktur PT Rumpun Sari Antan, Andi Nur Huda, yang kini sudah jadi tersangka.
Dalam pemeriksaan, Gus Yazid akhirnya buka suara. Ia membantah tudingan menikmati duit panas itu, dan mengaku hanya dititipi.
“Saya tidak pernah terlibat dalam transaksi apa pun. Benar ada dana masuk, tapi itu dititipkan untuk kebutuhan tertentu. Saya tidak tahu kalau uang tersebut terkait kasus pengadaan aset PT CSA,” ujar Gus Yazid saat ditanya wartawan usai menjalani pemeriksaan di Semarang.
Jawaban itu jelas bikin publik makin penasaran. Kalau benar hanya titipan, titipan dari siapa, untuk apa, dan kenapa nilainya tembus sampai miliaran? Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jawa Tengah, Lukas Alexander Sinuraya menegaskan bahwa pemeriksaan saksi, termasuk Gus Yazid, bertujuan menelusuri aliran dana.
“Kami memastikan setiap aliran dana dalam kasus PT CSA Cilacap ini akan ditelusuri. Tidak peduli siapa pun penerimanya, sepanjang ada indikasi terkait tindak pidana, pasti akan kami dalami. Status saksi saat ini bukan berarti tidak ada potensi hukum ke depan,” tegas Aspidsus Kejati Jateng Lukas Alexander Sinuraya.
Kejati sendiri sudah lebih dulu menahan tiga tersangka: Andi Nur Huda, eks pejabat Pemda Cilacap Izkandar Zulkarnain, dan mantan Pejabat Bupati Cilacap Awaludin Muuri. Bahkan, sebelumnya penyidik menyita Rp13 miliar dari seorang pemilik pabrik beras di Klaten yang disebut-sebut sebagai uang down payment pembelian pabrik beras senilai Rp50 miliar.
Analisisnya sederhana: aliran dana dalam kasus CSA ini bukan cuma soal proyek tanah bermasalah, tapi udah menjalar ke berbagai pihak, mulai pejabat, pengusaha, hingga tokoh agama. Publik pun jadi sinis—kalau korupsi disebut haram di atas mimbar, kenapa duitnya masih bisa “dititipkan” sampai mampir ke yayasan?
Kini, semua mata menunggu babak lanjutan. Apakah keterangan Gus Yazid soal “titipan” akan membuka simpul baru dalam pusaran Rp237 miliar ini, atau justru menjadi jalan keluar bagi sebagian pihak? Yang jelas, Kejati menegaskan penyidikan masih berjalan, termasuk dugaan keterlibatan pejabat lain, bahkan pimpinan DPRD Cilacap.
Satu hal pasti: rakyat Cilacap yang harusnya menikmati pembangunan dari duit Rp237 miliar ini, sementara elite justru sibuk main “cuci-cucian”. Kalau drama ini berhenti di tengah jalan, publik lagi-lagi hanya dapat tontonan tanpa keadilan. (bae)