KABUPATEN Magelang meluncurkan program angkutan sekolah gratis yang bukan hanya menjawab persoalan transportasi, tapi juga menyentuh aspek keselamatan pelajar, akses pendidikan, dan keberlanjutan angkutan umum. Inovasi ini menjadi solusi multi-sektor yang dapat direplikasi di daerah lain dengan pendekatan transportasi berbasis kebutuhan masyarakat dan pemberdayaan lokal.
Di tengah tantangan menurunnya minat masyarakat terhadap angkutan umum dan tingginya ketergantungan pelajar terhadap kendaraan bermotor pribadi, Kabupaten Magelang menghadirkan solusi konkret: angkutan sekolah gratis. Sebuah langkah nyata dan progresif dalam menjawab persoalan transportasi pelajar yang selama ini menjadi penyebab tak langsung berbagai persoalan sosial, seperti kecelakaan lalu lintas, putus sekolah, hingga pernikahan usia dini.
Data menunjukkan bahwa kelompok usia 10–19 tahun merupakan salah satu yang paling rentan terhadap kecelakaan lalu lintas. Secara nasional, kelompok ini menyumbang 23 persen dari total korban kecelakaan, atau sekitar 46.439 korban dari total 204.284 kasus.
Di Kabupaten Magelang, data serupa menunjukkan bahwa remaja usia sekolah menempati peringkat kedua penyumbang kecelakaan tertinggi dengan 19 persen atau 240 korban dari total 1.256 kecelakaan yang tercatat. Fakta ini menjadi alarm yang seharusnya membangkitkan kesadaran semua pihak akan pentingnya ketersediaan angkutan pelajar yang aman, terjangkau, dan andal.
Minimnya angkutan umum yang layak menjadi pemicu utama tingginya penggunaan sepeda motor oleh pelajar. Tak jarang, mereka mengendarainya tanpa cukup usia, pengalaman, atau bahkan tanpa kelengkapan keselamatan. Maka, penyediaan transportasi sekolah gratis bukan hanya bentuk layanan publik, melainkan investasi jangka panjang untuk keselamatan dan pendidikan generasi muda.
Pemerintah Kabupaten Magelang merespons tantangan ini secara progresif melalui program Angkutan Sekolah Gratis yang mulai diujicobakan sejak Juli 2025. Program ini akan terus diperluas secara bertahap hingga mencakup 29 rute pada 2029. Tahap awal mencakup 9 trayek dengan 52 angkot, menyasar pelajar di wilayah prioritas seperti Kecamatan Sawangan, Kajoran, Kaliangkrik, Pakis, Grabag, dan Windusari—daerah dengan tingkat anak tidak sekolah dan kemiskinan yang relatif tinggi.
Langkah ini sejalan dengan visi daerah yang tertuang dalam RPJMD 2025–2029, khususnya pada misi “Pinter Ngaji, Pinter Sekolah Bocahe”. Aksesibilitas pendidikan dijadikan prioritas pembangunan daerah. Salah satu penghambat akses tersebut adalah mahalnya biaya transportasi, khususnya bagi pelajar yang tinggal di daerah pedesaan yang jauh dari sekolah atau tidak terlayani angkutan umum.
Dengan memberikan layanan transportasi gratis, pemerintah daerah membantu mengurangi beban ekonomi keluarga, meningkatkan kehadiran pelajar di sekolah, dan menurunkan risiko kecelakaan lalu lintas. Di saat yang sama, program ini memberi peluang hidup baru bagi angkutan perdesaan yang selama ini nyaris mati suri akibat rendahnya permintaan.
Data dari Dinas Perhubungan menyebutkan bahwa saat ini terdapat 49 trayek angkutan perdesaan dengan 468 armada, namun 13 trayek tidak lagi memiliki kendaraan aktif. Program ini menjadi penyelamat bagi para sopir dan koperasi angkutan yang tergabung dalam 6 koperasi utama di Magelang.
Dari sisi operasional, trayek ditentukan berdasarkan tiga indikator utama: kemiskinan ekstrem, tingginya angka anak tidak sekolah, dan ketersediaan armada angkutan. Program ini berjalan dengan jadwal tetap setiap hari pada pukul 06.00–07.00 dan 13.30–14.30, dengan headway 10 menit dan kecepatan rata-rata 35 km/jam.
Kebutuhan armada diperkirakan 5 kendaraan per trayek. Subsidi diberikan sebesar Rp 135.000 per kendaraan per hari, dengan anggaran tahap awal sebesar Rp 710 juta untuk September–Desember 2025.
Dampak positif sudah terlihat. Permintaan perjalanan diperkirakan meningkat dari 1.168 menjadi 2.770 perjalanan per hari, naik lebih dari dua kali lipat. Ini merupakan indikasi kuat bahwa masyarakat menyambut baik program ini, dan pelajar mendapatkan manfaat nyata.
Namun, keberhasilan program ini juga bergantung pada dukungan regulasi dan teknologi. Pemerintah Kabupaten Magelang perlu segera menerbitkan Peraturan Bupati sebagai landasan hukum penyelenggaraan program, serta SK Bupati yang mengatur rute, trayek, dan teknis operasional. Lebih lanjut, penggunaan GPS Tracker untuk seluruh kendaraan akan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas pengawasan.
Langkah Kabupaten Magelang patut diapresiasi dan dijadikan model bagi daerah lain. Ini adalah contoh bahwa kebijakan transportasi tidak harus selalu berorientasi pada infrastruktur besar, tetapi bisa dimulai dari inovasi kecil yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat. Pendekatan yang berpihak pada masyarakat bawah, memberdayakan pelaku lokal, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Transportasi adalah urat nadi kehidupan sosial dan ekonomi. Ketika dirancang dengan pendekatan yang manusiawi dan berbasis kebutuhan riil masyarakat, ia tidak hanya memindahkan orang, tetapi juga mengangkat martabat dan masa depan generasi muda. Kabupaten Magelang telah memberikan teladan: bahwa transportasi bisa menjadi instrumen perubahan sosial.(*)