BACAAJA, BANJARNEGARA — Pagi itu suasana Panti Jompo SOEKINTO seperti diubah waktu: guratan usia di wajah para penghuni tak lagi menjadi pembatas, melainkan panggung bagi tawa yang lepas.
Kamis, 14 Agustus, panti yang dikelola Yayasan Griya Sehat Yatim Dhuafa Banjarnegara menyelenggarakan lomba makan kerupuk untuk memeriahkan HUT ke-80 Republik Indonesia. Bendera kecil berkibar, musik campursari mengalun, dan puluhan kerupuk menggantung menanti aksi.
Permainan yang biasa di lapangan kampung itu berubah menjadi momen yang manis sekaligus mengharukan ketika peserta sebagian besar sudah tak lagi memiliki gigi. Tali-tali bergoyang, kerupuk menari, dan setiap kali ada yang hampir berhasil, ruangan meledak dalam gelak tawa.
Sukinah, pendiri dan pengasuh panti, menjelaskan ide sederhana itu ternyata menyimpan dampak besar. “Kami mau mereka ikut merasakan riuhnya 17 Agustus. Permainan kecil, tapi efeknya besar — ingatan kembali, senyum kembali,” ujarnya.
Bagi banyak lansia, aktivitas seperti ini membuka lembaran kenangan: permainan kampung, kompetisi kecil antarwarga, atau kebahagiaan sederhana di masa muda yang kini bisa diulang lagi, meski dengan cara yang lebih lembut.
Para peserta tidak hanya berlomba untuk menang. Mereka berlomba untuk tertawa bersama, untuk merasa diikutsertakan, dan untuk sejenak menyingkirkan rasa sepi yang kadang menyapa hari-hari di panti.
Siti, salah satu peserta, bercerita sambil tertawa: “Kalau boleh pakai tangan, saya menang. Tapi pakai mulut itu seru. Dapat satu saja saya sudah bahagia.” Ekspresinya membuat yang mendengar ikut terharu dan tersenyum.
Ada pula cerita lucu dari Pak Hasan yang beberapa kali hampir merebut kerupuk tetangganya. “Tali goyang, saya goyang juga,” katanya sambil mengangkat dua jempol, disusul tepuk tangan riuh dari penonton.
Panitia acara diisi relawan lokal, keluarga penghuni, dan sejumlah perawat panti. Mereka memastikan lomba berjalan aman — dari penjagaan agar tali tidak melukai hingga menyediakan kerupuk yang mudah lapuk supaya tidak berbahaya bagi yang menelan.
Setiap peserta pulang membawa hadiah kecil: paket makanan, selimut, atau peralatan mandi. Namun hadiah tak sebanding dengan apa yang didapatkan banyak orang di sana — suasana hangat dan kenangan yang kembali hidup.
Kehadiran keluarga yang menyaksikan menambah warna. Beberapa meneteskan air mata melihat orang tuanya tertawa tanpa beban, sementara yang lain sibuk merekam momen untuk dibagikan ke kerabat jauh.
Dari sisi kesehatan, panitia juga mencatat semua kebutuhan khusus peserta. Ada meja khusus bagi yang membutuhkan bantuan medis ringan, dan tim perawat selalu stand by selama acara berlangsung. Langkah-langkah ini membuat kegiatan tetap meriah tanpa mengorbankan keselamatan.
Lebih dari sekadar permainan, lomba ini mengetuk rasa martabat para lansia: bahwa usia bukan penanda berhentinya kegembiraan dan bahwa merdeka juga berarti bebas dari kesepian rutin.
Selain lomba kerupuk, rangkaian perayaan di panti itu meliputi lagu-lagu perjuangan yang dinyanyikan bersama dan pembacaan doa syukur. Semua kegiatan dirancang agar partisipasi tetap mudah dan menyenangkan.
Sukinah menambahkan bahwa acara seperti ini digelar rutin setiap tahun sebagai bagian dari upaya menjaga kualitas hidup penghuni panti. “Ini bukan sekadar perayaan — ini ikhtiar menjaga kebahagiaan mereka,” ujarnya.
Reaksi relawan yang mengorganisir juga penuh kehangatan. “Melihat mereka tertawa seperti itu, capek kami terbayar. Ternyata hal sederhana bisa jadi obat hati,” kata seorang relawan muda.
Menjelang penutupan, para penghuni berkumpul untuk foto bersama di bawah bendera merah putih. Foto-foto itu kemudian dicetak dan ditempel di papan pengumuman panti sebagai pengingat bahwa momen bahagia pernah hadir dan bisa muncul lagi.
Di luar tembok panti, kabar tentang lomba ini tersebar dari mulut ke mulut; tetangga yang melihat langsung membawa makanan kecil sebagai bentuk dukungan. Komunitas setempat pun berjanji akan terus mendukung kegiatan semacam ini.
Kembali ke ruang utama, tawa masih tersisa di bibir para peserta ketika gelap mulai merayap. Mereka pulang ke kamar masing-masing dengan hati yang lebih ringan, tahu bahwa kemerdekaan bisa dirasakan dalam wujud paling sederhana: kebersamaan.
Akhirnya, lomba makan kerupuk tanpa gigi ini menjadi pengingat manis bahwa perayaan nasional tidak hanya milik generasi muda — merdeka juga milik mereka yang telah menapaki banyak musim. Semangat itu, meski lahir dari hal kecil, melekat kuat di wajah-wajah yang tenang dan tersenyum. (*)