BACAAJA, CILEGON – Indonesia, negara maritim dengan laut seluas gosip seleb TikTok, ternyata masih juga kekurangan garam. Bukan buat masak rendang, ya, tapi garam industri. Gas juga nggak kalah nyesek: katanya sumber daya alam melimpah, tapi industri lokal harus puas dengan pasokan “seadanya”. Komisi VII DPR RI pun akhirnya turun tangan, atau setidaknya, turun kunjungan kerja.
Dalam lawatan penuh wibawa ke PT Chandra Asri Pacific di Cilegon (22/8/2025), Wakil Ketua Komisi VII, Chusnunia Chalim, nyentil kondisi pasokan bahan baku industri yang ya gitu-gitu aja. “Semangat nasionalisme sih oke, tapi kalau bahan bakunya nggak ada, industri bisa stop total. Mau bikin plastik pakai doa?” sindirnya, setengah serius, setengah satir (kami bantu satirin dikit biar relate).
Masalahnya emang klasik: garam industri di Indonesia udah kayak unicorn, ada tapi susah dicari. Alasannya? Produksi lokal belum bisa memenuhi standar dan kuantitas, sementara impor ditekan demi nasionalisme. Tapi gimana jadinya kalau terlalu nasionalis tapi tanpa stok bahan baku? Ya industri kita bisa masuk angin berjamaah.
Gas juga nggak kalah ngenes. Dari laporan yang diterima Komisi VII, kebutuhan gas industri baru bisa dipenuhi sebagian. Kayak orang pacaran LDR tapi cuma dikasih perhatian setengah-setengah. Komisi pun minta ada evaluasi lintas instansi — dari BGN sampai siapa pun yang bisa bantu nyari gas dan solusi, bukan cuma nyari panggung.
“Gas dan garam itu bukan pelengkap, itu bahan pokok produksi. Kalau terus begini, kita harus punya plan A, B, sampai Z kalau perlu. Jangan cuma wacana doang,” tegas Chusnunia, kayak lagi briefing tim sebelum deadline.
Salah satu solusi yang lagi digodok (semoga nggak gosong) adalah memberi kewenangan ke perusahaan buat impor langsung bahan baku. Atau setidaknya, nunjuk pihak lain yang bisa kerja lebih cekatan. Karena kalau nunggu semuanya siap dulu, bisa-bisa industri kita lebih duluan tutup dari warteg langganan yang pindah.
Anggota Komisi VII lain, Kardaya Warnika, nggak kalah galau. “Chandra Asri itu tulang punggung petrokimia kita. Kalau dia batuk, industri lain bisa pilek,” katanya. Beliau juga nyindir realita pahit: Singapura yang nggak punya laut segede kita aja bisa jadi raksasa petrokimia. Lah kita, punya laut luas tapi masih ngarep garam dari luar.
Kardaya juga kasih fakta sains (biar kita tambah pintar): garam industri tuh beda sama garam dapur. Butuh aditif dan proses kimia, bukan cuma jemur air laut di siang bolong. Jadi, inovasi itu kudu, bukan opsional. Kalau enggak, ya selamanya jadi penonton di liga industri global.
Sebagai mantan Kepala BP Migas, Kardaya pun janji Komisi VII bakal terus ngawal. Bukan ngawal mantan, tapi ngawal agar pemerintah nggak cuma janji manis soal bahan baku industri. Karena katanya industri mau jadi tulang punggung ekonomi, masa tulangnya keropos gara-gara kurang garam dan gas?
Garam dan gas itu bukan bahan tambahan, tapi pondasi industri. Kalau dua hal ini aja masih langka, mungkin yang perlu dievaluasi bukan cuma pasokan… tapi juga cara kita mikir soal kemandirian industri. Karena cinta produk dalam negeri itu bukan soal jargon, tapi soal logistik yang jalan.(*)