BACAAJA, SIDOARJO – Suasana duka masih menyelimuti Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo. Setelah musala utama mereka ambruk hingga menelan puluhan korban jiwa, aktivitas belajar-mengajar di pesantren itu resmi dihentikan sementara.
“Jadi sementara dihentikan,” ujar Menko Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), usai rapat di Kompleks Widya Chandra, Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Cak Imin menegaskan, prioritas saat ini adalah pemulihan psikologis para santri dan keluarga korban. Pemerintah, kata dia, tak hanya fokus pada fisik bangunan yang runtuh, tapi juga pada jiwa-jiwa muda yang terguncang karena kehilangan teman seperjuangan.
“Saya perintahkan ke jajaran Pemda dan Gubernur agar trauma healing dilakukan sampai tuntas, bahkan ke keluarga korban,” tegasnya.
Operasi SAR Selesai, Luka yang Tak Hilang
Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, Mayjen TNI Budi Irawan, memastikan seluruh proses pencarian sudah rampung. Alat berat telah berhenti beroperasi sejak Selasa (7/10) dini hari. Puing-puing yang sebelumnya berserakan kini sudah rata dengan tanah.
“Alhamdulillah sekarang sudah rata dan ditemukan 61 korban jiwa,” ungkap Budi.
Namun, tragedi ini belum benar-benar usai. Tim SAR juga menemukan tujuh potongan tubuh (body part) yang masih menunggu proses identifikasi tim DVI Polri. Dua nama masih masuk daftar pencarian, dan hasil DVI akan memastikan apakah potongan tubuh tersebut milik mereka.
Total korban tragedi ini mencapai 165 orang. Dari jumlah itu, 104 orang selamat — empat masih dirawat intensif, 99 sudah pulang ke rumah, dan satu tidak memerlukan perawatan medis.
Fakta: 42 Ribu Pesantren, Cuma 51 Berizin
Pasca tragedi ini, Presiden Prabowo Subianto langsung memerintahkan pengecekan total terhadap seluruh bangunan pondok pesantren di Indonesia. Hasil awal dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU) bikin merinding: dari 42 ribu pesantren di seluruh Indonesia, hanya 51 yang memiliki izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)!
Menteri PU, Dody Hanggodo, menjelaskan bahwa data ini masih bersifat sementara dan akan terus diperbarui. Namun, temuan itu sudah cukup menunjukkan betapa rentannya ribuan bangunan tempat para santri menimba ilmu.
“Sementara data pesantren rawan itu ada di sembilan provinsi. Tapi angka pastinya masih kami perbarui,” ujarnya.
Menurut Dody, banyak pesantren berdiri tanpa izin bukan karena niat buruk, tapi karena kurangnya pengetahuan soal pentingnya PBG.
“Pesantren itu kan biasanya dibangun dari santri untuk santri. Mereka merasa tidak perlu izin, padahal izin itu penting untuk memastikan kekuatan kolom, struktur, dan bahan bangunannya sesuai standar,” katanya.
Dari Niat Mulia ke Tragedi Nyata
Realitanya, banyak pesantren berdiri dari gotong royong masyarakat. Tak jarang, dana pembangunannya berasal dari kotak amal atau donasi lokal. Namun di balik semangat kebersamaan itu, ada risiko besar yang luput dari perhatian: keselamatan bangunan.
“Biasanya urusan IMB atau PBG itu hanya ramai di kota besar. Di daerah kecil, mereka kurang aware soal itu,” tambah Dody.
Kementerian PU kini berencana melakukan inspeksi langsung ke ribuan pesantren untuk mengecek kondisi bangunan, sekaligus membantu pengurusan izin yang selama ini diabaikan.
Pendidikan dan Keselamatan Harus Jalan Bareng
Tragedi di Ponpes Al Khoziny bukan sekadar musibah — ini adalah alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat. Ribuan pesantren di seluruh Indonesia bisa jadi “bom waktu” jika tidak ada perbaikan sistem keamanan bangunan.
Kita tentu sepakat bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tapi juga rumah kedua bagi santri. Dan rumah, seharusnya jadi tempat paling aman, bukan yang terakhir mereka huni.
Sekarang, tugas berat menanti: membenahi izin, memperkuat struktur, dan memastikan setiap santri pulang ke rumah dengan ilmu — bukan dengan luka.(*)