BACAAJA, KAIRO- Angka korban jiwa di Gaza makin bikin merinding. Bukan cuma warga sipil, tapi juga jurnalis yang jadi korban brutalnya perang. Data terbaru per Sabtu (23/8) mencatat sudah 240 jurnalis gugur sejak Israel mulai menggempur Jalur Gaza Oktober 2023. Jumlah ini resmi menjadikan perang Gaza sebagai konflik paling mematikan buat insan pers modern, bahkan ngalahin rekor kelam Perang Dunia I & II, Vietnam, sampai Afghanistan.
Nama terbaru di daftar panjang itu adalah Khaled Mohammed Al-Madhoun, juru kamera Palestine TV. Sebelumnya, serangan ke tenda jurnalis di dekat rumah sakit Gaza juga menewaskan sedikitnya lima staf Al Jazeera, termasuk reporter senior Anas Al-Sharif. Israel sempat ngeklaim Al-Sharif terkait Hamas, tapi tuduhan itu langsung dibantah keras dan menuai kecaman internasional.
“Ini bukan sekadar pembunuhan, tapi upaya membungkam kebenaran,” tegas Tahsin al-Astal, Wakil Ketua Serikat Jurnalis Palestina.
Catatan sejarah mencatat, angka 240 itu jauh melampaui korban jurnalis di perang besar lainnya: 68 di Perang Dunia, 63 di Vietnam, dan 127 di Afghanistan. Bayangin, satu tahun konflik di Gaza bisa ngalahin catatan perang puluhan tahun.
Kecaman Dunia
Kecaman dunia pun makin deras. 17 senator Amerika Serikat bareng-bareng ngirim surat protes ke Menlu Marco Rubio. Mereka mendesak Washington menekan Israel buat stop serangan ke pers, buka akses media asing ke Gaza, dan kasih perlindungan ekstra ke wartawan di lapangan.
“Tanpa penjelasan militer yang jelas, Israel seakan terang-terangan ngaku udah menargetkan jurnalis,” tulis para senator yang dipimpin Brian Schatz. Nama-nama beken kayak Elizabeth Warren, Tim Kaine, sampai Bernie Sanders juga ikut tanda tangan.
Sementara itu, Al Jazeera menuding Israel sengaja bikin kampanye fitnah dengan nyebar bukti palsu biar staf mereka dicap dekat dengan Hamas.
Sejak perang Gaza meletus 7 Oktober 2023, konflik yang bolak-balik diselingi gencatan singkat ini sudah ngerenggut lebih dari 61 ribu nyawa warga Palestina dan sekitar 1.500 orang di Israel. Tapi buat dunia pers, tragedi ini jadi pengingat paling pahit: menyampaikan kebenaran bisa berarti taruhan nyawa. (*)