BACAAJA, JAKARTA – Di balik momen sakral Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ada peran perempuan yang tak kalah penting dari para tokoh pria. Mereka hadir bukan sekadar sebagai saksi, melainkan turut aktif memastikan jalannya sejarah bangsa.
Salah satunya adalah Fatmawati, istri Presiden Soekarno yang menjahit bendera Merah Putih untuk dikibarkan di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Tak hanya itu, Fatmawati juga menyiapkan dapur umum untuk memberi makan rakyat yang hadir. Saat itu, usianya baru 22 tahun.
Ada pula Oetari Soetarti, mahasiswi Ika Daigaku dan anggota Palang Merah Indonesia (PMI) di Bidara Cina. Ia menyaksikan langsung pembacaan Proklamasi sekaligus membantu layanan kesehatan di tengah keramaian massa.
Surastri Karma Trimurti atau SK Trimurti juga menjadi bagian cerita. Aktivis sekaligus jurnalis ini sempat diminta mengibarkan bendera, namun menolak karena mengenakan kebaya dan jarik. Ia lalu merekomendasikan Latief Hendraningrat dari PETA untuk tugas itu.
Perempuan kelahiran Boyolali, 11 Mei 1912 itu, dikenal vokal menentang kolonialisme melalui tulisannya. Sebelum terjun ke dunia pers, SK Trimurti pernah mengajar di sejumlah kota, termasuk Surakarta dan Bandung.
Nama lain adalah Gonowati Djaka Sutadiwiria, mahasiswi kedokteran asal Semarang yang juga anggota PMI. Pada hari Proklamasi, ia bertugas mengamankan jalannya acara dari potensi gangguan tentara Jepang.
Tak berhenti di situ, Gonowati juga aktif mengumpulkan obat-obatan dan membantu layanan medis selama masa perang kemerdekaan. Perannya memastikan para pejuang dan warga mendapat pertolongan cepat.
Menariknya, ada pula sosok Satsuki Mishima, perempuan Jepang yang bekerja sebagai sekretaris urusan rumah tangga Laksamana Maeda. Ia meminjamkan mesin ketik buatan Jerman untuk pengetikan naskah Proklamasi.
Mesin itu dipinjam dari Kolonel Hermann W. Kandeler, komandan Angkatan Laut Jerman. Kehadiran mesin ketik ini sangat penting agar naskah Proklamasi bisa ditulis rapi dan segera disebarkan.
Para perempuan ini datang dari berbagai latar belakang: penjahit, tenaga medis, jurnalis, hingga staf administrasi. Peran mereka mungkin tampak sederhana, namun menjadi penopang momen besar bangsa.
Menjahit bendera, mengamankan acara, menyiapkan makanan, dan mengetik naskah adalah langkah-langkah kecil yang berdampak besar. Inilah kontribusi yang sering luput dari sorotan sejarah.
Mengangkat kisah mereka adalah bentuk penghargaan setara atas peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, sekaligus inspirasi bahwa kontribusi di belakang layar pun punya arti besar bagi bangsa. (*)