BACAAJA, SOLO – Suluk Pamit Sang Dalang– Kepergian dalang legendaris Ki Ageng H. Anom Suroto Lebdo Nagoro menggetarkan dunia pedalangan Jawa. Sang maestro wayang kulit asal Surakarta itu berpulang pada Kamis (23/10) pagi di RS Dr. Oen Kandang Sapi, Solo, dalam usia 77 tahun.
Bagi keluarga dan para pengagumnya, kepergian Ki Anom bukan sekadar berita duka, tapi juga perpisahan yang diselimuti rasa syukur dan keharuan. Sosok yang dikenal rendah hati itu berpulang dengan tenang, tanpa rasa sakit, seolah menutup lakon hidupnya dengan elegan.
Putra sulungnya, Bayu Aji Pamungkas, menyebut bahwa sang ayah pergi dengan cara yang indah. “Alhamdulillah kepergian beliau sangat bagus karena tidak merasakan sedikit pun sakit,” tuturnya di rumah duka, Kebon Seni Timasan, Makamhaji, Kartosuro.
Namun, yang paling membekas di hati Bayu bukanlah detik-detik terakhir ayahnya, melainkan kalimat sederhana yang terucap malam sebelum sang maestro pergi untuk selamanya.
Kala itu, Rabu (22/10), Bayu hendak berangkat ke Magetan untuk pentas wayang. Di sela obrolan santai, Ki Anom melantunkan suluk lirih—nyanyian khas dalang yang sarat makna spiritual.
“Saya itu kan mau dalang di Magetan besuk malam. Bapak bilang, ‘Nek koe sesuk nang Magetan, tak delok soko kadohan. Aku sesuk arep lungo adoh,’” kenang Bayu, suaranya bergetar.
Firasat itu kini terasa seperti suluk pamit—sebuah kidung perpisahan halus yang hanya bisa dimengerti setelah sang dalang benar-benar pergi.
Ki Anom memang dikenal bukan hanya sebagai dalang, tapi juga sebagai guru bagi banyak generasi penerus seni pedalangan. Setiap gerak tangannya, setiap cengkok suaranya, selalu memancarkan ketenangan dan kebijaksanaan.
Tak hanya mewariskan seni, Ki Anom juga meninggalkan pesan mendalam bagi anak-anaknya. Ia meminta agar gaya pakeliran Anom Suratan—gaya khas ciptaannya—tetap dijaga dan diteruskan.
“Pesan bapak, ‘Nitip yo, tutukno lakune bapakmu.’ Artinya harus melanjutkan perjalanan dan gaya pakeliran beliau. Boleh berinovasi, tapi jangan sampai ninggalke paugeran dan pakem,” tutur Bayu lagi.
Dalam dunia pedalangan, ucapan itu terdengar seperti sabda pewaris. Sebuah penegasan bahwa tradisi bukan untuk dikurung, tapi dijaga agar tetap hidup dan bernapas di masa kini.
Kenangan terakhir Bayu bersama sang ayah adalah saat mereka mendalang bertiga di Sukoharjo bersama adiknya dan sang paman, Bagong. Pertunjukan itu kini terasa seperti pentas perpisahan yang tidak disadari.
Bagi banyak orang, suara suluk Ki Anom adalah doa yang hidup—mengalun lembut di setiap malam wayang, membangunkan kesadaran akan kebijaksanaan Jawa yang dalam.
Kini, suara itu berhenti di dunia, tapi gema maknanya masih mengalun di hati para penggemar dan penerusnya.
Kehilangan Ki Anom Suroto dirasakan sampai jauh di luar Surakarta. Dari padepokan seni, sanggar, hingga pentas rakyat, nama Ki Anom disebut dengan hormat.
Suluk-suluknya tak hanya membingkai kisah Mahabharata atau Ramayana, tapi juga merefleksikan perjalanan manusia yang mencari arti hidup, laku, dan pamit.
Beberapa dalang muda bahkan menyebut Ki Anom sebagai “dalang rasa”, sosok yang bisa membuat penonton tak hanya menonton, tapi juga merasakan.
Kini, setelah lakon panjangnya usai, dunia wayang kembali menunduk. Gamelan diam, blencong redup, dan udara Solo seperti berhenti sejenak untuk memberi hormat.
Ki Anom Suroto telah berpulang, tapi suluknya tak akan padam. Ia tetap hidup di setiap dalang yang melanjutkan lakunya, di setiap malam wayang yang menyalakan makna, dan di setiap hati yang masih percaya bahwa seni adalah laku jiwa.
“Suluk pamit wis lumebu angin, nanging swarane ora bakal ilang.” (*)


