LAGI asik nyetir, tiba-tiba suara “tot-tot wuk-wuk” meraung, strobo nyala kayak disko dadakan, jalanan dipaksa minggir. Familiar? Fenomena inilah yang bikin warganet ngamuk bareng, sampai lahirlah kampanye digital yang sekarang lagi viral: #StopTotTotWukWuk.
Gerakan ini bukan sekadar meme, tapi suara rakyat yang udah jenuh sama arogansi jalanan. Dari Jakarta sampai daerah, publik sepakat: sirene ilegal itu bukan hak istimewa, apalagi tiket bebas macet. Itu pelanggaran hukum yang bahaya.
Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez, ikut bersuara lantang. Menurutnya, keresahan publik ini bukan basa-basi. “Jalan raya seharusnya ruang aman, bukan panggung arogansi. Gerakan ini adalah alarm keras buat aparat,” kata Gilang, Jumat (26/9/2025).
Ia menegaskan, Polri nggak boleh ragu menindak tegas. Soalnya, UU Nomor 22 Tahun 2009 udah gamblang: cuma ambulans, pemadam kebakaran, kendaraan pengawalan resmi, dan iring-iringan jenazah yang berhak pakai sirene & strobo. Titik. “Selain itu, pelanggaran hukum. Jangan ada tebang pilih,” tegasnya.
Sayangnya, di lapangan realitanya beda. Fenomena patwal jadi-jadian buat kepentingan pribadi masih gampang ditemui. Dari mobil pejabat yang lagi belanja sampai kendaraan pribadi sok-sokan, semua pengen jalan tol pribadi dengan cara instan: sirene ilegal.
“Ini yang bikin masyarakat makin muak. Sudah jadi rahasia umum ada pengawalan untuk kepentingan personal. Macetnya buat rakyat, mulusnya buat segelintir orang,” kritik Gilang.
Kritik publik pun nggak berhenti di medsos. Aksi nyata muncul lewat stiker bertuliskan “Stop Tot-Tot Wuk-Wuk” yang ditempel di kendaraan. Simbol sederhana ini jadi bentuk perlawanan di jalanan: rakyat pengen haknya diakui, pengen setara.
Biar makin jelas, Gilang mengingatkan: tertib lalu lintas itu bukan sekadar aturan kaku, tapi soal menghargai nyawa dan martabat manusia. Karena sekali jalan raya jadi arena arogansi, risiko kecelakaan, chaos, dan ketidakadilan bakal terus menghantui.
Ia juga mendukung langkah Korlantas Polri yang sempat membekukan sementara penggunaan sirene dan rotator. Tapi Gilang nggak mau setengah-setengah. “Harus ada SOP yang jelas, transparan, dan konsisten. Jangan cuma imbauan yang gampang dilanggar,” ujarnya.
Poin pentingnya: sirene darurat harus bener-bener darurat. Bukan darurat lapar, darurat telat meeting, atau darurat pengen sok berkuasa. Harus ada parameter tegas: apa yang disebut darurat, siapa yang boleh tentukan, dan mekanisme pengawasannya gimana.
Tanpa itu, jalan raya bakal terus jadi panggung drama arogansi. Rakyat disuruh sabar, sementara oknum seenaknya buka jalur. Gerakan #StopTotTotWukWuk hadir buat bilang: cukup sudah! Jalan raya bukan cuma milik mereka yang punya strobo, tapi ruang bersama untuk semua.(*)