DI TENGAH hiruk pikuk zaman digital yang serba cepat dan instan, nama WS Rendra kembali disuarakan. Sang Burung Merak yang pernah terbang tinggi dalam panggung kesusastraan Indonesia, kini kembali dipanggil bukan oleh waktu, tapi oleh keprihatinan zaman.
Willibrordus Surendra Broto Narendra—begitulah nama lengkap WS Rendra—lahir di Surakarta pada 7 November 1935, dan menghembuskan napas terakhir di Depok, 6 Agustus 2009. Kini, di tahun 2025, tepat 16 tahun setelah kepergiannya, Sanggar Seni Samudra menggelar acara “Mengenang WS Rendra Sebelum Kiamat Sastra” sebagai bentuk perlawanan terhadap mati rasa generasi baru terhadap sastra.
Acara ini akan digelar pada 6 Agustus 2025 di Jalan Prof. M. Yamin, Karangklesem, Purwokerto Selatan. Sebuah lokasi yang mungkin tak sebesar panggung Taman Ismail Marzuki, namun punya denyut nadi yang masih setia terhadap puisi, teater, dan suara jiwa manusia.
Karya-karya WS Rendra pernah meledak di panggung nasional hingga internasional. Ia bukan hanya sastrawan, tapi juga penyair yang bisa mengubah ruang pertunjukan menjadi peristiwa kebudayaan. Namun hari ini, karya-karya itu nyaris tak terdengar di antara riuhnya tren dan algoritma.
“Saya prihatin, kita sekarang hidup di zaman di mana orang bahkan malas menonton video sampai selesai, apalagi membaca puisi,” kata Faisal Jais (31), ketua harian Sanggar Seni Samudra yang akrab disapa Jayeng. “Kalau ini dibiarkan, kita akan kehilangan rasa. Dan manusia yang kehilangan rasa adalah manusia yang bahaya.”
Pernyataan itu bukan sekadar keluhan, tapi menjadi bahan bakar bagi acara penghormatan terhadap WS Rendra. Puisi-puisi sang maestro akan dibacakan kembali, dihidupkan dari teks menjadi suara, dari kertas menjadi nyawa.
Jayeng menambahkan, “Teknologi dan sastra seharusnya saling melengkapi. Tidak bisa yang satu menenggelamkan yang lain. Kalau teknologi berkembang, sastra juga harus ikut tumbuh.”
Suara senada datang dari Yudiono Aprianto (38), seorang pengamat sastra yang juga mengajar di sebuah SMK di Purwokerto. Ia menyebut bahwa hari ini generasi muda lebih mengenal influencer ketimbang sastrawan. “Padahal, dalam lagu Indonesia Raya kita diajarkan: bangunlah jiwanya. Bagaimana jiwa bisa bangkit kalau sastra ditinggalkan?”
Yudiono mengapresiasi langkah Sanggar Seni Samudra. Baginya, acara ini bukan sekadar nostalgia, tapi upaya untuk membangkitkan kesadaran. Kesadaran bahwa sastra bukan hiasan, tapi bagian penting dari kemanusiaan.
Acara tersebut diharapkan menjadi pemantik, bukan penutup. Karena sebagaimana kata Rendra dalam puisinya, “Yang bisa bertahan dari zaman bukanlah kekuasaan, tapi suara hati manusia.”
Gerakan seperti ini menjadi langka di tengah arus budaya populer. Tapi justru karena itulah, acara mengenang WS Rendra menjadi sangat penting. Ia menjadi lentera kecil yang mencoba menerangi lorong panjang menuju kejayaan sastra Indonesia.
Bagi Sanggar Seni Samudra, mengenang bukan berarti menatap ke belakang. Sebaliknya, mereka ingin menatap masa depan dengan bekal suara-suara masa lalu.
Dan jika hari ini WS Rendra dipanggil kembali lewat bait-bait puisinya, itu karena zaman membutuhkan dirinya lebih dari sebelumnya. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum sastra benar-benar kiamat. (*)