NARAKITA, SEMARANG- Soegijapranata Catholic University (SCU) mengajak semua pihak untuk meneladani semangat dan perjuangan Monsinyur (Mgr) Albertus Soegijapranata. Diketahui, Mgr Soegijapranata merupakan seorang uskup pribumi pertama sekaligus pahlawan nasional yang memiliki andil besar dalam mendukung kemerdekaan Indonesia melalui jalur diplomasi.
Terhitung hari ini, Selasa (22/7) genap 62 tahun kepergian Mgr Soegijapranata. Ia wafat pada 22 Juli 1963 di Belanda. Sivitas akademika SCU bersama Pemuda Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) mengikuti Perayaan Ekaristi.
Perayaan Ekaristi di Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Tunggal, Semarang, Selasa (22/7) yang dipimpin Rm Marcellinus Tanto, Pr, Rm Sebastianus Prasetya Aditama N, Pr, Rm Paulus Erwin Sasmita, Pr, dan Rm Bernadus Himawan, Pr.
Rektor SCU, Dr Ferdinandus Hindiarto mengatakan, pihaknya saban tahun rutin mengadakan misa untuk memperingati wafatnya Mgr Soegijapranata sebagai patron universitas. “Terus mewarisi, menggali, dan menghidupi nilai-nilai beliau. Salah satunya yang kami tekankan tiga tahun terakhir, bagaimana setiap perjumpaan yang beliau lakukan bersama siapapun bisa mengubah dan menggerakkan,” ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakan Ferdinand, semangat tersebut sejalan dengan perhatian kampus dalam mendidik mahasiswa dan melatar belakangi tema besar Dies Natalis ke-43 SCU. Adapun Dies Natalis kali ini mengusung tema “Spiritualitas Perjumpaan: Pendidikan Personal dan Iklusif yang Mengubah dan Menggerakkan.”
“Kami ingin ‘perjumpaan yang mengubah’ selalu ada untuk menggerakkan mahasiswa menjadi pribadi yang lebih matang. Sehingga, kampus, khususnya Perguruan Tinggi Katolik, bukan hanya sebatas ruang perkuliahan, melainkan ruang terciptanya ‘perjumpaan’ itu,” harapnya.
Sekilas Perjuangan
Saat menjabat sebagai Vikaris Apostolik Semarang (1940) dan Uskup Keuskupan Agung Semarang (1949), Mgr Soegijapranata memainkan peran penting dalam masa Revolusi Fisik. Pada masa itu, ia menjembatani komunikasi antara pemimpin nasional dengan dunia internasional, serta menggunakan kapasitasnya untuk meredam konflik dan mendukung diplomasi.
Salah satu langkah strategis yang beliau lakukan adalah mengirim surat resmi kepada Vatikan, meminta agar Indonesia diakui kemerdekaannya. Langkah ini terbukti memperkuat posisi Indonesia di mata dunia internasional saat itu.
Selain itu, ia juga mendorong para misionaris dan umat Katolik asing untuk mendukung perjuangan Indonesia. Sementara di dalam negeri, Uskup kelahiran Surakarta, 25 November 1896 itu mempromosikan dialog antar agama untuk memperjuangkan hak rakyat.
Sempat mengenyam pendidikan di Belanda, ia dikenal sebagai uskup yang cerdas dan berwawasan luas, namun rendah hati. Dikenal juga dengan semboyan khasnya, “100 Persen, Katolik 100 Persen Indonesia”.
Beliau juga memperjuangkan inklusivitas dan keterlibatan umat Katolik dalam membangun bangsa. Slogan tersebut juga tercermin ketika ia menjadikan Gereja sebagai tempat perlindungan bagi pengungsi dan korban perang akibat agresi militer Belanda. (bae)