DUSUN Praguman di Desa Clapar, Kecamatan Madukara, Banjarnegara, tengah jadi bahan obrolan di media sosial. Banyak yang menyebutnya sebagai Kampung Mati — tempat yang dulu ramai, kini sepi, ditinggal warganya karena tanah terus bergerak tanpa henti.
Dari kejauhan, dusun ini tampak seperti potret kehidupan yang berhenti di tengah jalan. Rumah-rumah berdiri miring, sebagian retak dan sebagian lain sudah roboh. Rumput liar tumbuh lebat di halaman yang dulu penuh suara anak-anak bermain.
Kampung ini dulunya punya dua RT dengan lebih dari 50 kepala keluarga. Tapi sejak bencana tanah gerak besar pada 2007, satu per satu warga memilih pindah ke tempat relokasi yang disediakan pemerintah desa.
Suara gemuruh tanah yang bergeser jadi hal menakutkan waktu itu. Warga merasa tak aman, apalagi setelah beberapa rumah mulai amblas perlahan. Kini, hanya suara angin dan kambing yang terdengar di sela reruntuhan bangunan.
Zona Merah yang Ditinggalkan
Kepala Desa Clapar, Somad, menjelaskan bahwa Praguman masuk zona merah rawan longsor. Karena itu, pemerintah desa bersama Pemkab Banjarnegara memutuskan relokasi massal sejak 2007.
“Jadi karena masuk zona merah rawan bencana, warga direlokasi ke tempat lebih aman. Tapi ada satu-dua yang tetap bertahan,” katanya.
Proses relokasi waktu itu dilakukan dengan pertimbangan keamanan. Wilayah baru berada tak jauh dari kantor desa agar akses warga tetap mudah. Di sana berdiri rumah-rumah baru yang kini menjadi pusat kehidupan warga Clapar.
Sementara di Praguman, banyak rumah yang akhirnya tak terurus. Beberapa dijadikan kandang kambing, sebagian lainnya dibiarkan runtuh dan ditumbuhi pohon salak. Dari 15 rumah yang masih berdiri, hanya segelintir yang masih berpenghuni.
Tanah yang Tak Pernah Benar-Benar Diam
Mutmainah, warga yang sesekali datang ke rumah lamanya, mengaku suara tanah bergerak masih sering terdengar.
“Kalau malam suka dengar suara gemuruh pelan, kaya tanah pecah. Ngeri juga, tapi udah biasa,” tuturnya.
Ia sendiri kini tinggal di tempat relokasi, tapi sesekali kembali untuk mengurus kebun salak yang masih tumbuh subur di tanah lama. “Kalau siang suka ke sini. Masih banyak warga yang ke kebun juga,” ujarnya.
Pergerakan tanah memang jadi masalah utama di wilayah ini. Tanah yang terus bergeser membuat bangunan tak stabil, dinding mudah retak, dan akses jalan pun bergelombang. Karena itu, banyak warga memilih tidak kembali.
Saksi Sunyi di Tengah Sepi
Meski dijuluki Kampung Mati, Praguman tidak sepenuhnya mati. Masih ada kehidupan kecil di sana — kambing yang mengembik, pohon salak yang tumbuh, dan seorang nenek yang menolak pergi.
Nenek Syamroni, satu dari sedikit warga yang tetap bertahan, tinggal di rumah lamanya bersama empat ekor kambing. Ia menolak pindah meski sudah berkali-kali dibujuk anaknya.
“Saya sudah sering bujuk, tapi ibu nggak mau. Katanya udah nyaman di sini,” kata Ginem, anak sulungnya.
Syamroni diketahui mengalami gangguan kejiwaan sejak anak bungsunya merantau ke Malaysia dan belum pernah kembali. Namun bagi nenek itu, rumah di Praguman bukan sekadar tempat tinggal — melainkan bagian dari dirinya sendiri.
“Sekarang cuma dua rumah yang masih ditempati. Satu ibu saya, satu lagi ada tiga orang yang tinggal,” jelas Ginem lagi.
Kampung Mati yang Masih Hidup di Ingatan
Kini, Dusun Praguman jadi lokasi yang menarik perhatian banyak orang. Banyak yang datang sekadar ingin melihat langsung “kampung mati” yang viral di media sosial lewat unggahan akun TikTok @bomal_vlog.
Di video tersebut, tampak jalanan sepi, rumah-rumah tua, dan sisa-sisa kehidupan yang tertinggal. Namun di balik kesunyian itu, ada cerita keteguhan, kehilangan, dan cinta terhadap tanah sendiri.
Bagi warga yang sudah pindah, Praguman tetap punya tempat di hati mereka. Kampung itu mungkin tak lagi layak huni, tapi kenangan tentangnya masih terasa hidup.
Malam di sana tetap sunyi, tapi tak sepenuhnya mati. Masih ada cahaya dari lampu minyak di rumah Syamroni, tanda bahwa kehidupan belum sepenuhnya pergi dari Kampung Mati di Banjarnegara. (*)