BACAAJA, JAKARTA – Kasus obat sirop beracun kembali bikin geger dunia. Setelah sempat terjadi di beberapa negara pada 2022, kini kejadian serupa muncul lagi di India. Setidaknya 14 anak meninggal dunia usai mengonsumsi obat batuk bermerek Coldrif Syrup — produk yang belakangan ini jadi sorotan karena kandungan zat beracunnya.
Di Indonesia, kabar ini langsung direspons cepat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kepala BPOM Taruna Ikrar menegaskan bahwa lembaganya sudah melakukan koordinasi internal untuk memastikan obat sirop beracun asal India itu tidak sampai beredar di Tanah Air.
“Kita benar-benar berhati-hati karena kita punya pengalaman pahit di tahun 2022 dengan kasus gagal ginjal akut. Kita nggak mau hal itu terulang lagi,” kata Taruna di Jakarta, Senin (6/10).
Taruna menjelaskan, sejauh ini BPOM sudah melakukan pemantauan di seluruh unit pelaksana teknis. Mereka juga menegaskan kalau Coldrif Syrup belum ditemukan di pasaran Indonesia. “Sampai sekarang belum ada. Dan semoga jangan sampai masuk,” tambahnya.
Langkah antisipatif ini dilakukan karena kasus di India menunjukkan betapa bahayanya obat dengan kandungan kimia tak terkontrol. Dari hasil laporan laboratorium di Tamil Nadu, Coldrif Syrup mengandung 48,6 persen dietilen glikol (DEG) — senyawa kimia beracun yang seharusnya tidak digunakan dalam produk farmasi untuk anak.
Buat yang belum tahu, dietilen glikol ini sebenarnya biasa dipakai dalam cairan anti-beku dan bahan industri seperti kosmetik dan pelumas. Tapi kalau masuk ke tubuh, apalagi pada dosis tinggi, dampaknya bisa fatal. Menurut WHO, paparan zat ini bisa bikin muntah, sakit perut, gagal ginjal akut, bahkan kematian.
Kasus di India jadi bukti nyata betapa berbahayanya zat ini. Dalam laporan polisi negara bagian Madhya Pradesh, disebutkan bahwa anak-anak yang jadi korban awalnya hanya mengalami batuk, pilek, dan demam. Tapi setelah minum sirop Coldrif, mereka mulai sulit buang air kecil, dan beberapa hari kemudian ginjalnya tidak berfungsi normal.
“Semua anak menunjukkan gejala awal flu biasa. Tapi setelah diberi obat itu, muncul gejala retensi urine dan gangguan ginjal akut,” bunyi laporan tersebut.
Dalam waktu kurang dari sebulan, 14 anak meninggal dunia, sementara 6 lainnya masih dirawat intensif di rumah sakit daerah Nagpur karena komplikasi ginjal. Polisi juga menyebut jumlah korban bisa bertambah, mengingat beberapa kasus baru masih dalam penyelidikan.
Dari hasil penyidikan, produsen Coldrif Syrup adalah perusahaan farmasi Sresan Pharmaceuticals. Laboratorium yang menguji sampel sirop itu menemukan kadar dietilen glikol hampir 500 kali lipat dari batas aman. Bisa dibayangkan seberapa fatal dampaknya bagi tubuh anak kecil.
Polisi India kini sudah menetapkan Sresan Pharmaceuticals sebagai tersangka utama. Tak hanya itu, dokter anak bernama Dr. Praveen Soni, yang meresepkan sirop beracun tersebut, juga ikut ditangkap. Izin praktiknya langsung dicabut karena dianggap lalai dan memberikan resep berisiko tinggi kepada pasien anak.
Dalam pemeriksaan, terungkap bahwa Dr. Soni sempat meresepkan obat itu kepada sebagian besar pasiennya di CHC Parasia. Setelah mengonsumsi sirop itu, banyak anak mengalami penurunan produksi urine dan peningkatan kadar kreatinin dalam darah — tanda-tanda awal gagal ginjal akut.
Kasus ini disebut sebagai salah satu tragedi keracunan obat sirop paling parah yang pernah terjadi di India. Dan yang lebih mengkhawatirkan, ini bukan kali pertama obat sirop buatan India memakan korban.
Sejak 2022, sudah tercatat 141 anak meninggal dunia di Gambia, Uzbekistan, dan Kamerun akibat konsumsi obat batuk buatan India yang juga mengandung dietilen glikol dan etilen glikol. Bahkan pada 2019, 12 anak di India sendiri sempat menjadi korban jiwa karena kasus serupa.
Tragedi berulang ini bikin banyak negara, termasuk Indonesia, semakin ketat dalam mengawasi peredaran obat impor. BPOM menegaskan bahwa setiap obat sirop dari luar negeri wajib melalui proses evaluasi ulang, terutama yang berasal dari produsen India.
“Kita langsung ambil langkah cepat begitu info ini keluar. Seluruh daerah sudah kita beri peringatan dan diarahkan untuk cek ulang produk yang beredar,” ujar Taruna.
Sejak kasus gagal ginjal akut yang sempat mengguncang Indonesia tiga tahun lalu, BPOM memperketat semua regulasi. Mulai dari uji bahan baku, pengawasan rantai distribusi, hingga pelabelan produk farmasi anak. Semua langkah itu diambil agar kasus serupa tidak terulang lagi.
Kasus di India jadi pengingat bahwa kelalaian kecil dalam proses produksi obat bisa berakibat besar. Dan di Indonesia, trauma atas tragedi 2022 masih membekas — saat ratusan anak meninggal akibat konsumsi sirop dengan kandungan bahan kimia berbahaya.
Kini, masyarakat diimbau untuk lebih waspada dan selalu cek izin edar serta nama produsen sebelum membeli obat sirop untuk anak. Karena di balik kemasan lucu dan rasa manis, bisa saja tersimpan bahaya yang nggak terlihat.
India masih berduka. Tapi dari tragedi itu, banyak negara belajar bahwa pengawasan obat nggak boleh kendor, apalagi kalau menyangkut anak-anak. Indonesia pun kini siaga penuh — agar sejarah kelam tiga tahun lalu tidak terulang lagi. (*)