LANGKAH Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Reformasi Polri hampir bersamaan dengan pembentukan tim reformasi versi Presiden Prabowo Subianto menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ini strategi inisiatif kelembagaan, atau justru sinyal resistensi halus terhadap kontrol politik Presiden?
Presiden Prabowo bergerak cepat dengan menunjuk tim eksternal lintas sektor untuk merancang peta jalan reformasi Polri. Tim ini masih menunggu pengumuman resmi komposisinya, namun beberapa nama sudah mengemuka. Mahfud MD disebut siap bergabung, sementara Jimly Asshiddiqie digadang masuk komite.
Presiden juga melantik Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Polri—posisi yang hampir pasti membuatnya terlibat aktif. Beberapa mantan Kapolri bahkan dikabarkan akan diminta bergabung. Meski struktur resmi belum diumumkan, arah tim Presiden jelas: memberi legitimasi politik dan moral bagi reformasi.
Sementara itu, Kapolri membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri dengan komposisi raksasa: 52 anggota, terdiri dari 47 jenderal dan 5 perwira menengah. Struktur tim ini detail dan birokratis:
- Pelindung: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo
- Penasihat: Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo
- Ketua: Komjen Chryshnanda Dwilaksana (Kalemdiklat Polri)
- Wakil Ketua I: Irjen Herry Rudolf Nahak (Koorsahli Kapolri)
- Wakil Ketua II: Brigjen Susilo Teguh Raharjo (Karobindiklat Lemdiklat Polri)
- Pengarah bidang:
- Komjen Wahyu Hadiningrat (Astamarena Kapolri – organisasi)
- Komjen Mohammad Fadil Imran (Astamaops Kapolri – operasional)
- Komjen Akhmad Wiyagus (Kabaintelkam – pelayanan publik)
- Komjen Wahyu Widada (Irwasum – pengawasan)
Dengan mencakup empat bidang utama—organisasi, operasi, pelayanan publik, dan pengawasan—tim internal ini jelas menyasar aspek teknis dan tata kelola internal kepolisian.
Inisiatif atau Resistensi?
Langkah Kapolri bisa dibaca dengan dua kacamata.
Pertama, sebagai inisiatif kelembagaan. Polri berusaha menunjukkan kesungguhan internal dalam memperbaiki diri. Narasi ini penting untuk menjaga moral internal agar anggota tidak merasa dipaksa oleh intervensi eksternal.
Namun, ada juga tafsir kedua: resistensi terselubung. Dengan tim internal, Polri tetap mengontrol narasi reformasi. Jika sepenuhnya dikendalikan Presiden, posisi Kapolri dan elite Polri bisa terpinggirkan. Apalagi, Jenderal Listyo Sigit yang segera pensiun tentu ingin meninggalkan legacy dan bargaining chip untuk menjaga pengaruhnya, baik di hadapan Presiden maupun publik.
Risiko Tumpang Tindih
Dua tim reformasi membuka potensi risiko serius:
- Mandat tumpang tindih. Publik bingung menentukan rekomendasi mana yang lebih sah: eksternal Presiden atau internal Polri.
- Legitimasi publik. Tim Presiden lebih punya legitimasi politik, tapi bisa dianggap elitis dan jauh dari problem teknis. Tim Polri lebih teknis, tapi rawan dianggap kosmetik belaka.
- Konflik narasi. Bila tidak sinkron, masyarakat bisa menilai ini sebagai tarik-menarik kuasa antara Presiden dan Kapolri.
Gaya Kerja Tim
Selain komposisi, gaya kerja kedua tim juga berpotensi berbeda.
- Tim Presiden cenderung konsultatif dan deliberatif. Dengan anggota dari kalangan sipil, akademisi, dan mantan pejabat, tim ini kemungkinan akan banyak menggelar diskusi publik, mendengar masukan dari LSM, serta merumuskan arah kebijakan makro. Fokusnya: membangun legitimasi politik dan moral untuk reformasi.
- Tim Kapolri lebih instruktif dan birokratis. Dengan dominasi perwira aktif, pola kerja mereka akan mengikuti kultur organisasi Polri yang hierarkis. Fokusnya pada detail teknis, struktur jabatan, sistem operasi, hingga regulasi internal.
Kontras gaya kerja ini bisa menjadi kekuatan jika dikolaborasikan—tim Presiden sebagai pengarah arah besar, tim Polri sebagai pelaksana teknis. Tapi bila tidak terkoordinasi, perbedaan gaya ini justru bisa melahirkan ketegangan dan saling klaim efektivitas.
Respons Istana
Istana sejauh ini merespons dengan hati-hati. Juru bicara Presiden menyebut langkah Kapolri sebagai “inisiatif internal” yang melengkapi agenda reformasi. Narasi resmi ini mencoba meredam spekulasi resistensi.
Namun, diplomasi bahasa tidak menghapus fakta bahwa Prabowo tidak ingin kehilangan kendali. Reformasi Polri adalah isu strategis yang menjadi ujian awal kepemimpinannya dalam menegakkan otoritas sipil atas aparat keamanan.
Dari sisi masyarakat sipil, banyak akademisi, aktivis HAM, dan LSM menekankan pentingnya pengawasan eksternal. Kritik yang muncul: tim internal cenderung berfokus pada aspek birokratis seperti SDM, struktur, dan anggaran, tetapi mengabaikan isu akuntabilitas publik—mulai dari transparansi hingga penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Proyeksi ke Depan
Ada dua skenario yang bisa terjadi.
- Best Case. Tim Presiden dan tim Polri saling melengkapi. Tim internal menyumbang detail teknis, sementara tim eksternal memberi arah moral dan politik. Reformasi bisa lebih menyeluruh dan diterima publik.
- Worst Case. Kedua tim berjalan sendiri-sendiri, bahkan saling bersaing narasi. Polri defensif, Istana agresif. Publik makin skeptis, reformasi jadi proyek kosmetik yang tidak menyentuh akar persoalan.
Dalam konteks ini, posisi Presiden Prabowo sangat krusial. Ia harus menunjukkan kapasitas mengendalikan Polri tanpa menimbulkan resistensi internal. Keberhasilan atau kegagalan dalam mengelola dinamika ini bisa menentukan arah demokrasi dan tata kelola keamanan Indonesia ke depan.
Dua tim reformasi bukan sekadar soal teknis kelembagaan, tapi cermin tarik-menarik kekuasaan. Polri ingin mempertahankan ruang kontrolnya, sementara Presiden berupaya menegaskan otoritas sipil. Siapa yang lebih dominan akan terlihat dari bagaimana kedua tim ini bekerja dan menghasilkan rekomendasi.
Reformasi Polri sudah lama jadi tuntutan publik. Pertanyaannya: apakah momentum kali ini akan membawa perubahan nyata, atau hanya berakhir sebagai simbol politik dan ajang adu pengaruh?(*)