BACAAJA, SEMARANG – Kalau kamu pernah main ke pesantren, pasti bakal bingung dengar istilah-istilah yang kedengarannya unik tapi penuh makna. Dunia pesantren memang punya “bahasa sendiri” yang udah jadi bagian dari keseharian santri.
Di tempat ini, santri adalah sebutan buat para pelajar yang menimba ilmu agama. Mereka tinggal di pondok, kamar sederhana atau asrama yang jadi rumah kedua selama menuntut ilmu.
Di atas mereka ada sosok kyai, pimpinan sekaligus guru utama yang dihormati semua santri. Kadang juga ada ustaz atau ustazah, yang bantu mengajar atau membimbing para santri dalam keseharian.
Kegiatan utama di pesantren tentu aja ngaji atau pengajian—belajar agama bareng lewat kitab kuning. Kitab ini disebut “kuning” karena warna kertasnya khas, dan isinya ditulis dalam bahasa Arab gundul tanpa harakat.
Belajar kitab kuning ini dilakukan lewat dua metode populer: sorogan dan bandongan (kadang disebut wetonan). Sorogan itu santri baca kitab di depan kyai untuk dikoreksi, sedangkan bandongan adalah saat kyai yang baca dan jelaskan, sementara santri nyimak sambil nyoret-nyoret arti di pinggiran kitab.
Proses belajar ini disebut tafaqquh fid-din, artinya memperdalam ilmu agama. Kadang diselingi kegiatan mujahadah, yaitu doa dan dzikir bareng biar hati makin tenang.
Kalau santri sudah khatam atau menyelesaikan kitab tertentu, biasanya digelar acara khataman, lengkap dengan doa dan syukuran. Tak jarang juga ada sholawatan bersama, suasananya adem dan penuh cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Selain itu, pesantren juga dikenal dengan tradisi riyadhoh—latihan rohani seperti puasa sunnah atau dzikir panjang. Tujuannya biar jiwa santri makin kuat dan sabar.
Dalam keseharian, para santri juga berinteraksi dengan musyrif atau musyrifah, yaitu pembimbing asrama yang biasanya santri senior. Rumah kyai disebut ndalem, tempat para santri sering “nderek” atau bantu-bantu sebagai bentuk pengabdian.
Ada pula tradisi tawasul, doa dengan menyebut nama guru dan ulama untuk mencari keberkahan ilmu. Sedangkan khitobah jadi ajang latihan pidato agar santri siap berdakwah.
Kalau ada santri yang melanggar aturan, biasanya kena ta’zir, semacam hukuman ringan. Bentuknya bisa macam-macam: kerja bakti alias roan, hafalan tambahan, sampai disuruh baca nadzom di depan teman-teman. Tujuannya bukan buat mempermalukan, tapi buat melatih disiplin.
Pesantren juga punya kegiatan spesial seperti haflah, semacam perayaan atau wisuda santri. Ada juga ziarah kubur, manakiban, dan tirakat—semuanya bentuk amalan spiritual buat mendekatkan diri pada Allah.
Tradisi ini erat banget dengan nilai ittiba’, yaitu mengikuti jejak para guru dan ulama terdahulu yang jadi panutan hidup.
Dari segi pelajaran, santri bakal akrab dengan istilah nahwu, sharaf, dan balaghah—semuanya bagian dari ilmu bahasa Arab. Nahwu bahas struktur kalimat, sharaf soal bentuk kata, sementara balaghah ngajarin keindahan bahasa.
Ada juga pelajaran berat seperti tafsir untuk memahami Al-Qur’an, fiqih buat urusan hukum ibadah, tauhid yang bahas keesaan Allah, sampai tasawuf yang ngajarin cara membersihkan hati.
Semua istilah itu bukan sekadar kata, tapi bagian dari kehidupan sehari-hari di pesantren. “Awalnya pusing, tapi lama-lama hafal sendiri. Soalnya tiap hari kedengeran,” kata seorang santri sambil tertawa kecil.
Bagi orang luar, istilah-istilah itu mungkin terdengar asing. Tapi bagi santri, di situlah letak kehangatan dan identitas mereka.
Bahasa di pesantren bukan cuma alat komunikasi, tapi juga jembatan nilai-nilai—tentang ilmu, adab, dan kebersamaan. Karena di balik setiap kata, tersimpan cerita tentang perjuangan menjadi manusia yang berilmu dan berakhlak. (*)