JADI, rame banget di X gara-gara data dari situs kendalkemlagi.desa.id yang bilang kalau di Indonesia, cuma dengan pengeluaran Rp3 juta per bulan aja udah bisa dianggap “super kaya”.
Warganet langsung auto ngakak campur miris. Banyak yang nyeletuk, “Lah 3 juta mah di kota besar cuma cukup buat ngisi bensin sama ngopi 2 minggu!” Tapi di sisi lain, di desa angka segitu bisa bikin hidup lumayan mapan: makan aman, bayar listrik lancar, masih ada sisa buat nabung dikit.
Fenomena ini ngasih gambaran betapa jauhnya jurang persepsi standar hidup antara kota dan desa. Buat anak kos di Jakarta, 3 juta tuh level “bertahan hidup pas-pasan”. Tapi buat sebagian daerah, itu udah kayak “level sultan mini”.
Jadi kalau ada survei kaya gini, wajar kalau netizen saling lempar pengalaman—mulai dari curhat harga kontrakan yang bikin nangis sampai bercandaan, “Kalau gitu gue udah bisa daftar Forbes dong?”
Intinya, perdebatan ini makin nyorot realita; standar kaya di Indonesia itu relatif banget, tergantung di mana kalian berdiri. Dan, jangan lupa, data kayak gini gampang bikin masyarakat insecure tapi sekaligus satir: ternyata “super kaya” di negeri +62 definisinya bisa sama dengan “Uang bulanan anak magang di Jakarta”.
Standar Nasional Versus “Super Kaya” medsos
BPS pakai pendekatan keluarga—garis kemiskinan rumah tangga nasional sekitar Rp2,8 juta per bulan (asumsi 4–5 jiwa×Rp595 ribu per kapita). Sementara itu, “menuju kelas menengah” itu Rp4,2 juta–Rp8,4 juta, dan kelas menengah sejati sekitar Rp8,4 juta hingga Rp47,6 juta; di atas itu baru kelas atas atau kaya banget.
Kemenkeu (merujuk BPS Susenas 2024) bilang batas kelas atas dimulai dari sekitar Rp9,9 juta per kapita per bulan.
Jadi, klaim “Rp3 juta = super kaya” jelas jauh dari ukuran nasional — lebih tepat disebut “masuk desil 10” kalau mengikuti KemenSos via DTSEN.
DTSEN dan Definisi “Super Kaya” oleh Kemensos
Kementerian Sosial, lewat sistem DTSEN (Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional), membagi masyarakat dalam 10 desil. Mereka yang masuk Desil 10 — alias kategori super kaya — adalah yang punya pengeluaran lebih dari Rp3 juta per kapita per bulan, berdasarkan Ig KendalKemlagi.
Jadi, di perspektif Kemensos, Rp3 juta udah bikin kamu “super kaya” dalam konteks penyaluran bantuan sosial — karena kamu udah jelas di “puncak piramida” dalam penilaian internal mereka.
Apa Reaksi Netizen di X?
Banyak yang ngakak: “Di Jakarta, 3jt itu cuma buat ATM-ingin tiap hari!” – karena UMP Jakarta aja sekitar Rp5 juta, dan biaya hidup keluarga di ibu kota bisa tembus Rp8–12 juta per bulan.
Sementara itu, di desa, Rp3 juta bisa jadi selangit: cukup untuk makan, listrik, lalu masih bisa ditabung atau buat cicil keluarga kecil—jadi semacam “Sultan Desa”.
Warganet terus lempar meme kaya: “Kalau gitu bisa daftar Forbes dong?!” atau “Rp3 juta = sultan desil 10, tapi bayar kos kosan tetap meriang”.
Sumber/Standar | : Definisi “Super Kaya” |
Kemensos (DTSEN) | : Pengeluaran per kapita > Rp3 juta → Desil 10 |
BPS / Kemenkeu | : Kelas atas mulai dari ~Rp9,9 juta/bulan per kapita |
Netizen Real-Life | : Rp3 juta di kota besar masih belum cukup; di desa bisa bikin hidup “mapan” |
Konsep “kaya” itu relatif — tergantung sistem (Kemensos vs BPS/Kemenkeu) dan lokasi (desa vs kota besar).
Meski terkesan lebay, menurut Kemensos, kalau pengeluaranmu di atas Rp3 juta per kapita per bulan, kamu otomatis masuk kategori terkaya secara administratif (Desil 10).
Tapi kalau dilihat dari standar hidup nasional, angka itu masih jauh dari “kaya riil”—apalagi di kota besar.
Perbandingan ini makin membuka percikan diskusi seru: siapa sih yang sebenarnya “kaya” di mata sosial media?(*)