BACAAJA, SLEMAN — Semasa hidupnya, KH Muhammad Imam Aziz dikenal sebagai pembela gigih kemanusiaan. Sosok penting di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) ini tak hanya seorang kiai yang lahir dari rahim pesantren, tetapi juga intelektual organik yang kerap turun langsung ke masyarakat untuk melakukan advokasi.
Lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 29 Maret 1962, Imam Aziz merupakan putra pasangan KH Abdul Aziz Yasin dan Hj Fathimah. Jejak kekiaiannya lengkap setelah ia mendirikan Pondok Pesantren Bumi Cendekia di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, bersama para sahabatnya.
Sosok yang akrab disapa Mas Imam — atau Mbah Dukuh oleh kalangan dekatnya — wafat pada Sabtu, 12 Juli 2025, di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dalam usia 63 tahun.
Tepat seratus hari kepergiannya, para sahabat dan murid mengenang beliau melalui peluncuran dua buku yang merekam jejak hidup dan pemikirannya sebagai “Kiai Rakjat”.
Acara bertajuk “Launching dan Diskusi Buku: Mengenang KH Imam Aziz” digelar di Pesantren Bumi Cendekia, Gombang, Sleman, pada Jumat (17/10).
Dua buku yang diperkenalkan berjudul “Jejak Kiai Rakjat (KH Imam Aziz dalam Kenangan)” dan “Sik Apik Dianggo, Sik Elek Diguang (Teologi Rekonsiliasi Gerakan Sosial dan NU Masa Depan)”.
Buku pertama berisi kisah dan kenangan dari para sahabat, murid, serta keluarga. Sementara buku kedua merupakan kumpulan tulisan Imam Aziz — mulai dari masa mudanya hingga menjelang akhir hayat.
“Saat seratus hari beliau wafat, banyak tulisan kenangan bertebaran di media sosial. Dari situ kami merasa perlu mengumpulkannya agar tidak hilang begitu saja,” ujar Heru Prasetia, penyunting buku sekaligus murid KH Imam Aziz.
Heru menilai, kedua buku ini menjadi dokumentasi penting bagi generasi muda untuk memahami cara berpikir dan semangat kebangsaan almarhum.
“Kalau ingin mengenal Mas Imam secara utuh, dua buku ini bisa jadi pintu awal,” tambahnya.
Menjembatani Tradisi dan Modernitas
Dalam sesi diskusi, I Made Supriatma, antropolog sekaligus sahabat lama KH Imam Aziz, menyebut almarhum sebagai sosok yang mampu menjembatani tradisi dan modernitas tanpa kehilangan akar budaya.
“Mas Imam mencintai tradisi bukan untuk dipertahankan secara kaku, tapi dijadikan sumber inspirasi agar kita bisa menjadi modern tanpa tercerabut dari akar,” ujarnya.
Menurut Made, Imam Aziz adalah figur moral yang selalu gelisah setiap kali melihat ketidakadilan.
“Mas Imam kelihatannya tenang, tapi di dalamnya ada nilai yang kokoh — moralitas yang tidak tergoyahkan,” katanya.
Sementara itu, Arif Aris Mundayat, dosen antropologi dari Universitas Sebelas Maret (UNS), menilai karya-karya Imam Aziz sebagai manifesto moral seorang ulama yang menulis dengan ketulusan.
“Beliau menulis bukan sekadar refleksi intelektual, tetapi dari kedalaman hati,” ujar Arif.
Ia menambahkan, pemikiran Imam Aziz tentang teologi rekonsiliasi merupakan ajakan untuk menyembuhkan luka sosial dan sejarah bangsa dengan pendekatan kemanusiaan, bukan sekadar politik.
“Mas Imam mengajak kita membangun rekonsiliasi berbasis hati,” imbuhnya.
Sahabat sekaligus rekan seperjuangannya, Alissa Wahid, mengenang Imam Aziz sebagai pribadi yang rendah hati dan jauh dari sorotan.
Putri KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kini menjabat sebagai Direktur Jaringan Gusdurian itu menyebut, Imam Aziz tak pernah mencari panggung.
“Mas Imam bukan orang yang mengejar sorotan. Ia berbicara sederhana, tapi gagasannya selalu membumi,” ujar Alissa.
Menurutnya, pemikiran KH Imam dapat menjadi panduan penting bagi arah gerakan sosial dan kepemimpinan NU ke depan.
“Kalau kita cukup jeli membaca pemikirannya, di situ ada blueprint besar untuk masa depan,” tambahnya.
Kiai yang merakyat
Para sahabat dan murid menggambarkan Imam Aziz sebagai ulama pembelajar, penulis, sekaligus pejuang kemanusiaan.
Sejak muda, ia menempuh pendidikan di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga (kini UIN), dan aktif di PMII serta Lembaga Pers Mahasiswa Arena. Dari sana, tumbuh pemikiran yang kritis dan progresif, namun tetap berpijak kuat pada nilai-nilai pesantren.
Ia berperan penting dalam Muktamar Warga NU di Cirebon tahun 2004, yang menegaskan kembali khittah sosial dan kultural NU. Imam Aziz juga mendirikan LKiS, lembaga yang berperan besar dalam pengembangan wacana Islam progresif dan advokasi sosial di Yogyakarta.
Sepanjang hidupnya, ia mendampingi kelompok-kelompok marginal — mulai dari anak jalanan, jemaah Ahmadiyah, masyarakat Kendeng, hingga warga Wadas yang menolak tambang batu andesit.
Selain menjadi Ketua PBNU periode 2010–2021, Imam Aziz juga mengasuh Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta, tempat ia menanamkan nilai-nilai keislaman yang humanis dan berpihak pada rakyat kecil.
Kini, seratus hari setelah kepergiannya, nama KH Muhammad Imam Aziz tetap hidup dalam kenangan banyak orang — sebagai Kiai Rakjat, seorang ulama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemanusiaan. (*)