BACAAJA, JAKARTA — Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) kembali jadi sorotan.
Terlebih setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak penggunaan APBN untuk membayar utang proyek yang nilainya tembus lebih dari Rp100 triliun.
Menurutnya, utang tersebut merupakan tanggung jawab Danantara sebagai pihak yang terlibat dalam proyek patungan Indonesia–China.
Sorotan makin tajam setelah Mahfud MD mengungkap dugaan mark-up biaya dalam proyek tersebut.
Ia menilai ada lonjakan biaya hingga tiga kali lipat dibanding standar harga pembangunan kereta cepat di China.
“Di Indonesia biaya per kilometer mencapai 52 juta dolar AS, sedangkan di China hanya 17–18 juta dolar. Ini harus diselidiki, uangnya ke mana,” ujar Mahfud dalam kanal YouTube pribadinya, Selasa (14/10/2025).
Mahfud juga menyinggung proses awal proyek yang semula ditawarkan ke Jepang dengan bunga pinjaman hanya 0,1%, namun kemudian dialihkan ke China dengan bunga 2–3,4%, yang membuat beban utang melonjak.
Ia menambahkan, Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan kala itu, sempat menolak kerja sama dengan China karena dianggap tidak menguntungkan — dan kemudian dicopot dari jabatannya.
Keputusan untuk mengalihkan tawaran dari Jepang ke China dengan beban bunga lebih tinggi merupakan keputusan Jokowi.
Beban Utang dan Pembengkakan Biaya
Data menunjukkan total biaya proyek Whoosh mencapai 7,27 miliar dolar AS (sekitar Rp120 triliun), dengan sekitar 75% dibiayai oleh pinjaman dari China Development Bank (CDB).
Bunga utangnya mencapai 2–3,2% per tahun dengan tenor hingga 45 tahun.
Pembengkakan biaya atau cost overrun sekitar 1,2 miliar dolar AS membuat PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) —perusahaan patungan Indonesia dan China— harus menarik pinjaman tambahan dari CDB.
Akibatnya, empat BUMN Indonesia yang tergabung dalam PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) ikut menanggung kerugian triliunan rupiah.
Mahfud menyebut, bunga utang proyek ini saja mencapai Rp2 triliun per tahun, sementara pemasukan dari tiket hanya sekitar Rp1,5 triliun, sehingga utang terus menumpuk.
“Kalau dibiarkan, bisa 70–80 tahun baru lunas,” katanya.
Proyek Whoosh diresmikan pada era Presiden Joko Widodo sebagai hasil kerja sama BUMN Indonesia dan China, dengan skema business to business (B2B).
Namun dalam praktiknya, proyek ini tetap mengandalkan dana APBN untuk menutup kekurangan modal.
Sejumlah pengamat menilai, proyek yang awalnya digadang-gadang sebagai simbol kemajuan transportasi nasional itu kini berubah menjadi beban keuangan jangka panjang bagi negara.
Jadi, masihkah Whoosh sebagai simbol kemajuan atau sebuah beban utang yang disengaja?
Bagaimana menurut Sobat Bacaaja? (*)