PARTAI Persatuan Pembangunan (PPP) lagi-lagi terseret drama klasik: konflik internal pasca Muktamar X. Kali ini, bukan sekadar soal siapa yang duduk di kursi ketua umum, tapi siapa “dalang” sebenarnya di balik pecahnya partai berlambang Ka’bah itu. Dari Romahurmuziy hingga Agus Suparmanto, dari AD/ART yang multitafsir hingga bayangan kekuasaan Jokowi—semuanya jadi potongan puzzle yang membentuk drama besar politik PPP.
Faksionalisme adalah penyakit kronis PPP sejak awal berdiri, dan Muktamar X hanya mempertegas itu. Mantan Ketum Romahurmuziy alias Romy masih punya pengaruh moral di tubuh partai. Ia terang-terangan membantah klaim aklamasi Mardiono, tapi juga tidak memberi restu penuh pada Agus Suparmanto. Dengan posisi abu-abunya, Romy bertindak seperti “kingmaker dalam bayangan” yang bisa menentukan arah angin.
Selain Romy, ada pula barisan DPW/DPC yang kecewa dengan kepemimpinan Mardiono. Misalnya, PPP Sulawesi Tengah yang menolak aklamasi. Koalisi daerah ini menjadi mesin politik bagi Agus Suparmanto. Jadi dalang internal kali ini bukan sekadar individu, tapi gabungan elite senior dan daerah yang frustrasi dengan stagnasi suara PPP di Pemilu 2024.
Kalau bicara Agus Suparmanto, jelas ini bukan cerita kaderisasi panjang ala politisi tradisional PPP. Mantan Menteri Perdagangan era Jokowi ini adalah pengusaha besar yang masuk ke PPP lewat jalur patronase politik. Kehadirannya mencerminkan proyek kekuatan eksternal—jaringan bisnis dan elite nasional—yang melihat PPP sebagai kendaraan baru untuk mengamankan kepentingan.
Lebih jauh, PPP sendiri memang magnet bagi lingkaran kekuasaan. Basis Islam tradisionalnya dianggap strategis untuk menjaga keseimbangan politik. Wajar bila ada dugaan kuat bahwa elite pemerintah ikut cawe-cawe menentukan siapa yang layak duduk sebagai ketua umum, agar PPP tetap “jinak” menjelang Pemilu 2029.
Senjata AD/ART
Namun, dalang bukan selalu orang. Kadang aturan yang tidak jelas bisa lebih berbahaya. Ambiguitas AD/ART PPP membuka ruang tafsir. Pimpinan sidang bisa saja mengetuk palu aklamasi cepat-cepat, sementara kubu lain bikin sidang tandingan. Hasilnya? Dua klaim sahih sekaligus. Inilah dalang struktural: aturan internal yang multitafsir, dipakai faksi berbeda sebagai senjata saling serang.
Kalau disederhanakan, ada tiga dalang utama di balik Muktamar X:
- Dalang ideologis: Romy, yang bertindak sebagai penjaga warisan partai dan kingmaker.
- Dalang politis-pragmatis: Agus Suparmanto dan jaringan eksternalnya yang ingin “mengakuisisi” PPP.
- Dalang administratif: Mardiono, yang mengandalkan legalitas formal dan restu kekuasaan.
Pertemuan tiga dalang inilah yang membuat PPP kembali pecah. Setiap faksi punya agenda berbeda, tapi sama-sama menjadikan muktamar sebagai panggung perebutan kendali.
Jokowi dan Bayangan PSI di Balik PPP?
Di luar internal PPP, ada satu faktor eksternal yang tak bisa diabaikan: peran Jokowi.
Mardiono punya sejarah dekat dengan Jokowi. Ia pernah dipercaya sebagai Utusan Khusus Presiden bidang kerukunan umat beragama. Saat Suharso Monoarfa mundur pada 2022, Mardiono naik sebagai Plt Ketum dengan restu lingkaran istana. Jadi, kalau Mardiono kembali “menang”, wajar publik membaca ada garis merah Jokowi di situ.
Bagi Jokowi, PPP bukan ancaman serius. Suaranya selalu tipis-tipis lolos ambang batas, dan internalnya mudah pecah. Justru dengan membiarkan PPP tetap dipimpin Mardiono, Jokowi dapat partai Islam tradisional yang jinak dan tidak membahayakan.
Sementara itu, PSI semakin agresif dengan masuk ke DPR pasca Pemilu 2024. Basisnya memang beda—anak muda, kota, kalangan moderat—tapi PPP yang lemah membuka ruang PSI untuk berkembang lebih lebar. PPP stagnan = PSI diuntungkan.
PPP Pecah, PSI Tertawa?
Apakah Jokowi sengaja melemahkan PPP untuk PSI? Tidak sepenuhnya. Lebih tepatnya, Jokowi membiarkan status quo. Dengan Mardiono, PPP aman terkendali, dan secara efek samping PSI jadi punya ruang lebih luas untuk tumbuh tanpa harus bentrok dengan partai Islam besar seperti PKB.
Muktamar X PPP bukan hanya soal kursi ketua umum, tapi soal perebutan kendali dari tiga dalang: Romy dan jaringan senior, Agus dengan patron eksternalnya, serta Mardiono dengan legalitas administratif. Jokowi mungkin tidak langsung menjadi dalang, tapi jelas punya kepentingan menjaga PPP tetap kecil dan aman, sambil membiarkan PSI berkembang.
Pertanyaannya kini: apakah PPP bisa keluar dari siklus perpecahan, atau justru terus jadi “partai satelit” dalam orbit kekuasaan, sementara PSI melaju sebagai wajah baru politik Jokowi?(*)
