BACAAJA, SEMARANG – Buat yang lagi serius mikir ke pelaminan, istilah khitbah pasti sering terdengar. Dalam tradisi Islam, khitbah dikenal sebagai proses sebelum akad nikah. Banyak orang menyamakan khitbah dengan lamaran atau tunangan, padahal ada bedanya.
Secara bahasa, khitbah berasal dari kata al-khithab yang artinya “pembicaraan”. Nah, kalau konteksnya perempuan, maknanya bergeser jadi “pembicaraan soal pernikahan”. Jadi bisa dibilang, khitbah adalah proses resmi seorang laki-laki mengungkapkan niat menikah kepada calon istrinya dengan sepengetahuan wali.
Bedanya sama lamaran versi umum? Khitbah dalam Islam bukan akad nikah, tapi langkah awal untuk menunjukkan keseriusan. Ibaratnya, bukan cuma “PDKT syar’i”, tapi juga sinyal kuat kalau keduanya siap melangkah lebih jauh.
Menurut Yahya Abdurrahman dalam bukunya Risalah Khitbah, seseorang nggak seharusnya main-main dalam tahap ini. Harus ada azam alias tekad bulat untuk menikah. Kalau masih ragu atau cuma ingin coba-coba, sebaiknya jangan buru-buru mengkhitbah.
Prosesnya gimana? Biasanya calon mempelai pria datang bersama keluarganya, lalu menyampaikan niat baiknya kepada wali si perempuan. Kalau disampaikan tanpa sepengetahuan orang tua atau wali, itu belum bisa disebut khitbah yang sah.
Meski begitu, khitbah bukan berarti pasangan sudah halal berdua-duaan. Statusnya tetap seperti sebelum khitbah, bukan mahram. Hanya saja, tahap ini memberi ruang untuk saling mengenal lebih dalam. Tentu saja tetap dengan batasan syar’i.
Ada aturan penting juga yang ditegaskan Rasulullah SAW. Beliau bersabda:
وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
Artinya: “Janganlah seseorang meminang di atas pinangan saudaranya sampai peminang pertama meninggalkannya atau mengizinkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, kalau sudah ada yang meminang duluan, orang lain tidak boleh memotong antrian kecuali pinangan itu dibatalkan.
Soal durasi, khitbah nggak ada batas baku, tapi sebaiknya jangan kelamaan. Para ulama menyarankan hitungan bulan, bukan tahunan. Kenapa? Supaya jelas, apakah benar-benar serius menikah atau cuma jadi “pacaran halal” versi baru.
Selama masa khitbah, kejujuran sangat penting. Baik kekurangan maupun kelebihan sebaiknya disampaikan sejak awal. Kalau ada hal besar yang ditutup-tutupi, bisa jadi bom waktu setelah menikah nanti.
Yang menarik, hak menerima atau menolak khitbah sepenuhnya ada di tangan perempuan. Wali tidak boleh memaksakan. Rasulullah SAW menegaskan, janda tidak boleh dinikahkan tanpa persetujuannya, dan gadis tidak boleh dinikahkan tanpa izinnya.
Bahkan ada kisah seorang gadis yang dinikahkan ayahnya tanpa persetujuan. Ia kemudian mengadu kepada Rasulullah, dan Nabi memberi hak padanya untuk memilih melanjutkan atau membatalkan. Artinya, Islam sangat menghargai suara perempuan dalam pernikahan.
Intinya, khitbah bukan formalitas, tapi tahap serius menuju rumah tangga. Kalau belum siap mental, finansial, atau rencana jelas, lebih baik jangan dulu mengkhitbah. Tapi kalau sudah mantap, khitbah jadi gerbang menuju ibadah panjang bernama pernikahan. (*)