KALAU kamu scrolling medsos akhir-akhir ini, kamu pasti nemu video rusuh, spanduk protes, sampai gedung DPRD yang terbakar. Tapi, ini bukan sekadar vibes “demo mahasiswa” kayak zaman dulu. Gelombang protes yang melanda Indonesia akhir Agustus 2025 ini terasa beda: lebih emosional, lebih marah, dan jauh lebih merakyat.
Kenapa bisa gitu?
Karena akar masalahnya bukan cuma satu. Ini soal elit politik yang makin nggak nyambung sama realita rakyat. Bayangin aja: ketika harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja makin susah, dan gaji UMR pas-pasan, eh para anggota DPR malah dikabarkan dapet tunjangan perumahan Rp50 juta/bulan. Fix, privilege level dewa.
Yang bikin makin panas, kemarahan rakyat makin meledak setelah seorang ojek online bernama Affan Kurniawan meninggal tertabrak mobil taktis Brimob saat demo berlangsung. Sosok Affan bukan siapa-siapa di media mainstream, tapi di hati rakyat, dia jadi simbol: pekerja keras yang dihancurkan sistem. Dan seperti api kecil yang ketemu bensin, publik langsung terbakar amarahnya.
Tapi yang paling menarik dari demo ini adalah: gerakannya organik. Nggak ada aktor besar di belakangnya. Nggak kelihatan komando dari ormas atau partai. Mereka yang turun ke jalan adalah rakyat biasa yang bergerak dari keresahan pribadi masing-masing, terhubung lewat kesadaran kolektif yang menyebar di media sosial.
Cukup dengan satu cuitan viral, satu video yang menyentuh, satu poster yang relatable—semua ikut bergerak. Tanpa panggilan resmi, tanpa instruksi. Ini kekuatan horizontal: rakyat nggak butuh pemimpin untuk tahu kapan mereka perlu bersuara.
Presiden Prabowo memang cepat ambil tindakan. Ia menyatakan belasungkawa, minta investigasi, bahkan sampai batalin kunjungan ke China. Tapi, buat banyak orang, itu belum cukup. Yang dibutuhkan bukan cuma empati simbolik, tapi solusi konkret. Rakyat nggak butuh kata-kata manis, mereka butuh perubahan nyata.
Ini bukan pertama kalinya rakyat turun ke jalan. Ingat 2019? RUU KPK dan KUHP bikin mahasiswa tumpah ruah. Atau demo Omnibus Law 2020 yang penuh kreativitas meme. Tapi kali ini, bukan cuma anak kampus yang bersuara. Ojek online, buruh, emak-emak, sampai warga desa ikut protes. Artinya, keresahan udah gak kenal kelas sosial. Semua merasa ditinggalkan.
Masalahnya makin rumit dengan keberadaan UU TNI yang baru. UU ini memperluas peran militer di ranah sipil—yang bagi banyak Gen-Z, terdengar kayak throwback ke zaman Orba. Ada kekhawatiran: kok rasanya ruang sipil makin sempit? Kok polisi dan tentara makin gampang masuk ke urusan rakyat sipil?
Buat generasi kita yang tumbuh di era demokrasi digital, ini jelas alarm bahaya. Kita nggak alergi sama stabilitas, tapi kita juga nggak mau demokrasi kita dipreteli pelan-pelan. Reformasi itu bukan cuma catatan sejarah di buku PKN, tapi komitmen hidup-hidup yang harus dijaga.
Terus, apa yang harus dilakukan?
Pertama, pemerintah harus evaluasi tunjangan DPR yang nggak masuk akal itu. Kalau rakyat diminta hemat, pejabat pun harus ikut. Kedua, revisi UU TNI perlu dialog ulang, dengan melibatkan masyarakat sipil, bukan cuma elite senayan. Ketiga, negara harus serius memperbaiki sistem penegakan hukum biar rakyat nggak trauma lihat aparat tiap demo.
Dan buat kita, Gen-Z yang sering dibilang rebahan doang, ini saatnya buktiin bahwa kita bisa jadi suara perubahan. Nggak harus turun ke jalan (kalau nggak bisa), tapi bisa lewat edukasi digital, konten kreatif, diskusi publik, dan vote smart di pemilu berikutnya. Kita nggak boleh cuek, karena yang pasif, justru paling gampang dikendalikan.
Akhir kata, demo ini bukan soal chaos. Ini adalah pesan keras dari rakyat, terutama generasi muda: bahwa kita nggak mau lagi jadi penonton di negeri sendiri. Kita mau sistem yang adil, pemimpin yang waras, dan masa depan yang bisa kita banggakan.
Karena kalau politik terus dikuasai segelintir orang kaya dan kuat, tanpa suara kita, Indonesia cuma akan jadi republik ilusi. Dan kita nggak akan tinggal diam.(*)