BACA AJA, BANDUNG – Guys, kabar panas nih. Setya Novanto alias Setnov akhirnya bisa keluar dari Lapas Sukamiskin. Yup, mantan Ketua DPR yang terseret kasus mega korupsi e-KTP itu resmi dapet pembebasan bersyarat pas tanggal 16 Agustus 2025—sehari sebelum 17-an, pas banget ya timingnya.
Kenapa bisa keluar? Jadi ceritanya, vonis 15 tahun yang dulu bikin heboh dipotong Mahkamah Agung jadi 12,5 tahun lewat Peninjauan Kembali. Ditambah lagi, hukuman politiknya juga dipangkas dari 5 tahun jadi cuma 2,5 tahun. Duit negara yang kudu diganti juga udah dibayar: total lebih dari Rp43 miliar. Jadi secara aturan, dia udah centang semua syarat buat bebas bersyarat.
Sebelumnya, Mahkamah Agung melalui putusan Peninjauan Kembali pada Juni 2025 memangkas hukuman penjara Novanto dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun, serta memotong masa pencabutan hak politik dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun. Tak hanya itu, Novanto juga sudah menyelesaikan pembayaran denda dan uang pengganti kerugian negara senilai lebih dari Rp 43 miliar. Dengan modal itulah Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) menyetujui status bebas bersyarat pada 10 Agustus lalu.
Meski sudah bebas dari balik jeruji, kewajiban Novanto masih menumpuk. Ia harus melapor ke Balai Pemasyarakatan Bandung setiap bulan hingga 29 April 2029. Hak politiknya pun belum dipulihkan penuh hingga masa tambahan pencabutan selesai. Artinya, meski bebas, jalan politik Novanto masih tertutup setidaknya beberapa tahun ke depan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi pembebasan ini dengan hati-hati. Lembaga antirasuah itu mengingatkan bahwa kasus korupsi proyek e-KTP yang menjerat Novanto adalah kejahatan serius dengan kerugian negara triliunan rupiah. “Ini jadi pengingat agar sejarah kelam tidak terulang,” kata juru bicara KPK.
Di sisi lain, pakar hukum pidana menilai prosedur pembebasan bersyarat sudah sesuai aturan. Namun mereka menekankan pentingnya pengawasan ketat agar kewajiban pasca-bebas benar-benar dijalankan. Sementara itu, suara publik justru banyak dipenuhi rasa kecewa. Tak sedikit yang menilai kebebasan ini menunjukkan betapa efek jera bagi koruptor semakin kabur, karena vonis yang dipotong dan fasilitas hukum membuat mereka tetap bisa melenggang lebih cepat dari seharusnya.
Kini, Setya Novanto mungkin bisa bernapas lega di luar tembok penjara. Tapi di ruang publik, kebebasan itu justru menimbulkan tanda tanya lebih besar: apakah hukum di negeri ini benar-benar tegas terhadap koruptor, atau sekadar lunak ketika berhadapan dengan mereka yang punya kuasa?(*)