AFRIKA SELATAN, NARAKITA – Sebuah tragedi memilukan mengguncang Afrika Selatan. Dua perempuan kulit hitam ditemukan tewas dan diduga jasad mereka dibuang ke dalam kandang babi oleh sekelompok orang yang bekerja di sebuah peternakan di Provinsi Limpopo. Kasus ini kini tengah menjadi sorotan nasional karena diduga sarat akan unsur kekerasan rasial.
Kasus mengerikan ini mencuat ke permukaan pada Senin (4/8/2025), ketika Pengadilan Tinggi Limpopo memulai sidang atas dakwaan pembunuhan terhadap tiga terdakwa. Salah satu dari mereka, Adrian de Wet (20), yang merupakan pekerja di peternakan tersebut, memberikan kesaksian mengejutkan di hadapan hakim.
De Wet mengklaim bahwa dirinya dipaksa untuk membuang mayat dua perempuan ke kandang babi, dan jika pengadilan mempercayai pengakuan itu, dakwaan terhadapnya kemungkinan besar akan dicabut. Pengacaranya menyebut kliennya bertindak di bawah tekanan.
Kedua korban, Maria Makgato (45) dan Lucia Ndlovu (34), dilaporkan hilang saat mereka mencari sisa makanan di sebuah peternakan dekat kota Polokwane. Mereka dikenal kerap mengumpulkan produk susu sisa yang biasanya dibuang ke kandang ternak.
Namun, apa yang terjadi pada hari nahas itu justru berujung pada kematian. Keduanya diduga ditembak mati oleh Zachariah Johannes Olivier (60), pemilik peternakan, sebelum jasad mereka diangkut dan dibuang ke kandang babi.
Kasus ini tak hanya menyeret De Wet dan Olivier. Seorang pekerja lain, William Musora (50), yang berasal dari Zimbabwe, juga turut didakwa. Ketiganya kini menghadapi dakwaan berat, termasuk pembunuhan, percobaan pembunuhan, kepemilikan senjata api ilegal, dan menghalangi proses hukum.
Musora bahkan menghadapi tuntutan tambahan karena statusnya yang tidak memiliki izin tinggal sah di Afrika Selatan. Ini membuat kasus semakin kompleks, mempertemukan isu ras, imigrasi, dan ketimpangan sosial dalam satu meja persidangan.
Salah satu saksi kunci dalam persidangan ini adalah suami dari salah satu korban, yang saat kejadian berada di lokasi dan menjadi sasaran tembakan. Ia berhasil melarikan diri dan kini memberikan keterangan penting yang memperkuat dakwaan jaksa.
Sejak awal sidang, atmosfer di dalam pengadilan sangat tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh keluarga korban, aktivis, serta anggota Partai Economic Freedom Fighters (EFF) yang menuntut keadilan atas kekejaman ini.
Istri terdakwa Olivier pun terlihat hadir, duduk di barisan depan dengan mata sembab. Tangisnya pecah saat hakim memulai pembacaan kronologi kejadian. Namun simpati publik tidak berpihak padanya. Kemarahan masyarakat telah telanjur membuncah.
Tragedi ini membuka kembali luka lama Afrika Selatan—ketimpangan struktural yang masih terasa meskipun apartheid telah usai lebih dari tiga dekade silam. Hingga kini, mayoritas lahan pertanian masih dikuasai minoritas kulit putih, sementara pekerjanya kebanyakan kulit hitam yang digaji rendah.
Di Limpopo, situasi ini menjadi bom waktu. Ketegangan sosial meruncing, terlebih ketika kekerasan seperti ini terjadi. Banyak yang menganggap bahwa insiden ini bukan sekadar tindak kriminal, melainkan refleksi dari warisan ketidakadilan yang belum terselesaikan.
Dari ruang sidang ke jalanan, dukungan terhadap keluarga korban terus mengalir. Beberapa organisasi hak asasi manusia mendesak pemerintah untuk mempercepat reformasi agraria dan menjamin perlindungan terhadap komunitas kulit hitam di wilayah pedesaan.
Di sisi lain, para pendukung terdakwa menilai bahwa kasus ini terlalu dipolitisasi dan meminta pengadilan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan massa. Namun bagi banyak orang, kasus ini lebih dari sekadar persidangan. Ini adalah ujian moral terhadap bangsa yang pernah berjanji untuk hidup setara.
Sidang akan dilanjutkan minggu depan dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan. Sementara itu, publik menanti: akankah keadilan benar-benar ditegakkan, atau lagi-lagi dikubur bersama bau amis di kandang babi? (*)