SABTU siang, 4 Oktober 2025, suasana Kertanegara mendadak ramai. Mobil kepresidenan berhenti di depan rumah Prabowo Subianto. Dari dalamnya keluar sosok yang sudah lama jadi perhatian publik—Joko Widodo. Dua tokoh besar, dua presiden Indonesia, duduk bareng selama dua jam. Katanya sih, cuma “silaturahmi dan bahas masalah kebangsaan.” Tapi, serius cuma itu?
Publik langsung heboh. Grup WhatsApp politik rame, media sosial panas, dan para analis mulai menebak-nebak: ini momen politik biasa atau langkah strategis menjelang babak baru kekuasaan?
Dari sisi simbolis, pertemuan ini bisa dibilang keren. Bayangin, dua tokoh yang dulu sempat bersaing keras di Pilpres, sekarang duduk bareng di ruang tamu. Ini bisa jadi pesan kuat buat publik bahwa politik nggak selalu harus keras kepala. Ada semangat rekonsiliasi dan kesinambungan.
Tapi di sisi lain, kita tahu: politik Indonesia jarang benar-benar “tanpa makna”. Ada aja lapisan makna di balik setiap gestur. Bisa jadi, ini juga sinyal buat para elite dan partai, bahwa hubungan Jokowi dan Prabowo masih erat. Publik bisa lihat ini sebagai bukti bahwa “transisi kekuasaan” berjalan mulus, tapi skeptis bisa aja bilang, “ini sih setting-an politik.”
Ada Apa di Balik Pintu Kertanegara?
Kalau mau jujur, wajar banget kalau banyak yang curiga pertemuan ini bukan sekadar nostalgia dua sahabat lama. Ada beberapa kemungkinan besar.
Pertama, Jokowi mungkin memberi masukan strategis buat pemerintahan Prabowo. Sebagai mantan presiden dua periode, Jokowi punya pengalaman dan pengaruh politik yang nggak bisa diremehkan. Kedua, ini bisa jadi momen legitimasi. Jokowi seolah bilang ke publik: “Yes, saya dukung Prabowo.”
Ketiga, bisa aja ini manuver untuk menenangkan suhu politik dalam koalisi. Karena jujur, di belakang panggung politik, gesekan antarpartai itu nyata banget. Silaturahmi seperti ini bisa jadi “pendingin mesin politik.”
Dan terakhir—nggak kalah penting—ini juga bisa jadi langkah branding dua arah. Prabowo terlihat terbuka dan santai menerima masukan, sementara Jokowi tetap tampil sebagai figur bijak yang “ikut mengawal bangsa.”
Publik Makin Penasaran
Masalahnya, pertemuan yang terlalu “rahasia” malah bikin publik makin penasaran. Istana cuma bilang topiknya seputar “masalah kebangsaan dan masukan ke depan.” Lah, maksudnya apa tuh? Pembangunan? Pertahanan? Ekonomi? Atau mungkin soal politik jelang kontestasi berikutnya?
Kekaburan ini bikin ruang spekulasi terbuka lebar. Bagi sebagian orang, ini terkesan seperti langkah politik yang disamarkan dengan label “silaturahmi.” Di era keterbukaan informasi kayak sekarang, publik tentu berharap ada transparansi lebih. Kalau memang niatnya murni membahas masa depan bangsa, kenapa nggak sekalian disampaikan isinya?
Selain itu, ada risiko persepsi kekuasaan yang timpang. Jokowi memang bukan presiden aktif lagi, tapi pengaruhnya masih kuat banget. Jadi, kalau pertemuan ini dianggap terlalu berpihak ke Prabowo, bisa muncul tuduhan “politik bayangan” dari belakang layar.
Dan jangan lupa, ekspektasi publik juga tinggi. Kalau dari pertemuan sebesar ini hasilnya cuma foto dan senyum, tanpa tindak lanjut nyata, ya siap-siap aja publik merasa ini cuma simbolik tanpa dampak.
Dari sisi strategis, pertemuan ini jelas mengirimkan sinyal stabilitas. Hubungan Jokowi–Prabowo yang cair bisa bikin elite politik lebih tenang dan koalisi pemerintahan makin solid. Tapi di sisi lain, ini juga bisa menekan oposisi yang mulai kehilangan ruang narasi.
Elite lain pun pasti sedang menghitung ulang langkah. Siapa yang akan mendekat, siapa yang harus jaga jarak. Karena di politik, kedekatan dua tokoh besar bisa mengubah peta kekuasaan dengan cepat.
Bagi publik, mungkin harapan terbesar dari pertemuan ini sederhana: semoga beneran ada kolaborasi nyata buat bangsa. Bukan cuma basa-basi politik atau ajang pencitraan. Rakyat pengin lihat hasil—bukan sekadar pertemuan dua jam di rumah mewah Kertanegara.
Publik Punya Hak untuk Tahu
Pertemuan dua presiden ini bisa dibaca sebagai simbol persatuan nasional. Tapi tetap, publik harus kritis. Di negara demokratis, politik nggak boleh berjalan di balik tirai. Pertemuan sebesar ini seharusnya diikuti transparansi: apa dibahas, apa hasilnya, dan ke mana arahnya.
Kalau semua diklaim demi bangsa, ya tunjukkan hasilnya buat rakyat.
Pertemuan Jokowi dengan Prabowo di kediaman Prabowo membawa sejumlah dimensi: simbolis, strategis, politis, dan juga berpotensi kontroversial. Dari sisi simbol, pertemuan ini bisa memperkuat narasi persatuan dan kesinambungan negara. Dari sisi politik praktis, ini bisa menjadi sarana lobi, konsultasi strategis, dan penguatan legitimasi. Namun, ambiguitas mengenai isi pembicaraan dan kurangnya transparansi membuka ruang keraguan tentang motif sesungguhnya.
Secara kritis, langkah seperti ini menuntut agar publik dan media tetap skeptis: mendorong agar isi pembicaraan diungkap, agar potensi konflik kepentingan tidak tersembunyi, dan agar langkah-langkah selanjutnya bisa dievaluasi berdasarkan aksi nyata, bukan sekadar retorika.(*)