PERGESERAN tajam tengah terjadi di jantung Partai Gerindra. Bukan sekadar pergantian jabatan biasa, melainkan sebuah manuver penuh makna yang bisa mengubah peta loyalitas dalam partai berlambang kepala burung garuda itu.
Secara tiba-tiba dan tanpa melalui mekanisme partai, Ahmad Muzani dicopot dari jabatan Sekretaris Jenderal Partai Gerindra. Ia digantikan oleh Sugiono, Menteri Luar Negeri dalam kabinet Prabowo— sosok yang dikenal sebagai “Ksatria Jedi”, anak ideologis Prabowo yang loyal luar dalam.
Dan semua ini terjadi pada Jumat, 1 Agustus 2025, langsung dari Hambalang, markas besar Prabowo Subianto. Tanpa seremoni. Tanpa aba-aba. Tanpa banyak penjelasan. Hanya satu keputusan dari sang ketua umum — dan segalanya berubah.
Lalu publik bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi dengan Muzani, dan Gerindra?
Lebih Dekat Dengan Jokowi?
Desas-desus yang berembus kencang di lingkaran dalam Gerindra menyebut, kedekatan Ahmad Muzani dengan Presiden RI ke-7 Joko Widodo menjadi titik rawan. Dalam berbagai kesempatan, Muzani kerap terlihat sowan ke Solo. Dan tak semua kunjungan itu — kabarnya — diketahui atau atas restu langsung dari Prabowo Subianto.
Isu pun merebak: apakah Prabowo mulai tak nyaman? Apakah ia menilai Muzani terlalu lentur menjaga komunikasi politik, di saat Gerindra sedang memperkeras posisi dan bersiap menjadi pusat kekuasaan baru?
Belum lagi, di saat hubungan Jokowi dan PDI-P memburuk, Prabowo justru sedang membangun koalisi baru yang lebih strategis — dan itu tak melibatkan dominasi Jokowi. Maka, posisi Muzani yang berada di tengah dua kutub kekuasaan menjadi bumerang.
Berimbas ke Tegal
Pencopotan Muzani tak hanya berdampak di pusat. Imbasnya terasa di daerah-daerah, terutama yang selama ini berada dalam orbit pengaruh politiknya. Salah satu yang paling nyata adalah Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Adik kandung Muzani, Ahmad Kholid, baru saja dikukuhkan sebagai Wakil Bupati Tegal hasil Pilkada 2024. Ia mendampingi Bupati Ischak Maulana Rohman, politisi muda dari PKB. Keduanya berhasil mengalahkan pasangan muda usungan PDI Perjuangan, Bima Ekasakti – Syaeful Mujab.
Kemenangan yang bukan datang dari langit begitu saja. Muzani turun langsung ke lapangan. Ia bertaruh nama, jaringan, bahkan menjanjikan banyak program strategis dari pusat: infrastruktur, pertanian, bantuan sosial, irigasi, jalan nasional, revitalisasi RSUD, dan lainnya. Semua demi menegakkan kemenangan politik keluarganya.
Tapi setelah lengsernya Muzani dari kursi Sekjen, satu per satu proyek pusat yang dijanjikan untuk Tegal mulai dicoret. Program-progam yang awalnya tinggal menunggu tanda tangan tiba-tiba dibatalkan. Para birokrat di Jakarta mulai menyempitkan jalur akses. Dan rakyat Tegal, yang sudah menaruh harapan, kini mulai mengeluh dalam diam.
Misalnya proyek-proyek dari Kementerian PUPR, Dirjen SDA, dan P3TGAI sebanyak 50 titik. Ada proyek TPS3R, PISEW, Sanimas, Mck pondok pesantren 30 titik, pembangunan embung 15 titik, juga proyek bantuan CSR dari BUMN, dan PKTD dari Kemenaker.
Kini, di tangan Sugiono, Prabowo ingin Gerindra tampil steril. Bebas dari “anasir-anasir lama” politik yang punya banyak percabangan loyalitas. Sugiono tak punya beban sejarah. Ia murni loyalis, tanpa koneksi kuat ke Jokowi, PDI-P, atau partai mana pun. Hanya kepada satu komando: Prabowo.
Dan dalam konteks ini, pengamat politik pun menilai pencopotan Muzani sangat masuk akal. Prabowo sedang bersiap menjalin koalisi baru — dengan PDI-P.
Tak tanggung-tanggung, sebagai gestur goodwill, Prabowo bahkan memberi amnesti politik untuk Hasto Kristiyanto. Tak lama setelah itu, Megawati memberi instruksi kepada seluruh kader PDI-P: dukung pemerintahan Prabowo.
Kini, Gerindra dan PDI-P sama-sama tampak berhati-hati, tak ingin ada “penumpang gelap” atau penjilat dua muka dalam tubuh inti kepemimpinan. Ini langkah penuh kalkulasi — menuju 2029, menuju era baru dominasi politik nasional.
Kalau sudah begini… PAN KAYA KIE BAE???
(*)