BAUNYA menyeruak. Datang bersama angin, menusuk hidung. Aroma busuk itu bersumber sisi barat Kota Semarang. Tepatnya dari sebuah lembah yang kini berubah jadi gunung. Bukan gunung dengan pepohonan hijau. Bukan gunung dengan udara sejuk dan kicau burung di pagi hari. Ini gunung dengan lapisan plastik, kain sobek, dan sisa makanan yang membusuk.
Pemerintah menamainya TPA Jatibarang. Lokasi yang sudah jadi tempat pembuangan akhir sampah seluruh warga Kota Semarang sejak Maret 1992. Dari waktu ke waktu, tumpukan sampah terus bertambah. Saat saya mengunjunginya pada 2020, kondisinya belum sekrodit ini.
Saya ingat betul, dulunya sisi kanan setelah gapura TPA masih berupa tanah datar. Di sebelahnya ada bangunan terbuka bekas tempat pengolahan pupuk organik dari sampah. Kini, pada September 2025, di sisi yang sama sudah jadi gunungan sampah. Puncak gunduknya lebih tinggi dari atap bangunan yang kini sudah mulai lapuk.
Berjarak dua ratusan meter ke arah bawah, terdapat hamparan sampah lain. Di sini lah lokasi utama pembuangan sampah kota saat ini. Saya coba mendekat. Baunya makin menyengat. Masker dobel yang saya kenakan tak mampu menahan serbuan udara busuk bercampur amoniak.
Selebar mata memandang, yang terlihat hanya lautan sampah. Truk pengangkut sampah terlihat hilir mudik. Satu ekskavator bekerja keras menimbun dan meratakan sampah. Para pemulung tak kalah sibuk. Setiap kali truk menumpahkan muatan, mereka berkerumun, berebut memungut sampah yang bernilai jual.
Yang cukup menyita perhatian, di antara aktivitas itu terdapat sapi-sapi berkeliaran. Itu sapi milik warga yang sengaja dilepas untuk nyari makan dari sampah organik. “Sapi ya banyak, ada ribuan,” ucap seseorang yang bekerja di area TPA, Sabtu (27/9).
Aliansi Zera Waste Indonesia menyebut pada 2023 jumlah sapi di TPA Jatibarang sekitar 1.500 ekor. Di tempat saya memandangi ribuan ekor sapi, lokasinya terbilang datar. Tapi saat coba maju sekitar 20-an meter, saya baru sadar. Ternyata saya berdiri di atas bukit penuh sampah.
Merujuk data yang dirilis Pemkot Semarang, volume sampah yang masuk di TPA Jatibarang mencapai 800–1.200 ton per hari pada 2025. Deputi Manager Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, Nur Colis menyebut kondisi TPA Jatibarang sudah darurat.
“Sekarang itu sudah enggak ada yang kosong. Artinya sudah meluas sampai paling dekat dengan titik sungai di bawah bukit,” ucapnya, Kamis (25/9). Jatibarang jadi monumen sunyi. Saksi bisu kegagalan kota mengendalikan sisa hidup warganya. Gunung busuk yang kian hari kian bertumbuh, dan tak ada yang tahu kapan ia berhenti. (bae)