PADA sebuah ruangan sederhana di rumahnya, berbagai mainan anak-anak era 70-an sampai awal 2000-an tersusun rapi. Ada tazos hadiah jajanan Chiki, hingga potongan robot hadiah permen karet, sampai tutup botol Fanta.
Koleksi itu bukan sekadar benda, tapi potongan kenangan masa kecil yang disatukan oleh tangan Mas Septa, pemilik Nostalgia Gallery dengan akun Instagram @nostalgiagallery.id
“Saya dari kecil memang suka mainan, suka beli-beli,” ujarnya membuka obrolan podcast Kerjo Aneh-Aneh bersama host Lek Slam di kanal YouTube Bacaajadotco yang tayang Senin (29/9/2025).
Meski sudah mulai ngumpulin sejak kecil, keseriusannya datang di tahun 2021, saat pandemi. Waktu itu, Mas Septa mulai rajin menghimpun, meneliti, hingga mencari tahu sejarah di balik mainan jadul yang pernah ia miliki.
“Awalnya penasaran, jumlahnya ada berapa sih, terbitnya kapan, produsennya siapa. Dari situ mulai nyari referensi,” jelasnya.
Majalah jadul, iklan lama, bahkan blog di internet jadi sumber informasi yang ia kejar. Dari situ ia sadar, mainan kecil yang dulu sering dianggap remeh, ternyata punya jejak panjang.
“Akhirnya kenangan dari tahun 70-an sampai 2000-an kita pelajari semua,” katanya.
Punya Puluhan Ribu Item
Mas Septa tidak pernah menghitung persis berapa jumlah koleksinya. Tapi kalau ditotal per item, bisa tembus puluhan ribu.
“Yang dobel paling sekitar tiga persen aja. Kalau ada dobel, saya jual. Tapi kalau nggak ada, pasti saya simpan,” ungkapnya.
Bahkan, beberapa item langka ia klaim hanya dimilikinya seorang. Seperti tutup botol Fanta. Ia punya tiga seri lengkap, yang masing-masing seri 100 biji.
“Orang lain mungkin ada yang punya, tapi nggak selengkap ini,” tambahnya.
Hobinya bahkan merembet. Selain mengoleksi hadiah jajan jadul dan mainan jadul, kini juga mulai mengumpulkan produk dan jajan jadul.
Hobi mengumpulkan barang jadul tentu butuh kompromi. Apalagi setelah menikah. Untungnya, istrinya sudah tahu sejak awal dan keduanya saling mengerti.
“Kadang saya tanya dulu sebelum beli, kadang nggak. Tapi setelah tahu agak menghasilkan, ya sudah, lebih gampang komprominya,” ujarnya.
Anaknya pun sesekali ikut bermain. Biasanya main yang ada dobelannya. Ia pelan-pelan ngasih tau anaknya, mainan yang langka hanya buat display.
Bukan Sekadar Mainan
Baginya, mainan bukan hanya benda plastik warna-warni. Ada cerita perjuangan di baliknya. Saat kecil, orang tua jarang membelikan mainan. Ia harus menabung, bahkan bekerja kecil-kecilan.
“Saya pernah waktu SD tahun 1999 sudah kerja, ngumpulin bola tenis dari jam tiga sore sampai magrib. Dibayar Rp20 ribu. Dari situlah uangnya buat beli mainan,” ceritanya.
Itu sebabnya, setiap mainan punya makna. Kadang bukan soal harga, tapi soal cerita saat mendapatkannya.
Dari ribuan koleksi, ada tiga yang paling membekas bagi Mas Septa. Pertama, tazos hadiah Chiki yang populer pada 1996. Ia punya kisah haru bersama kakaknya waktu bermain tazos.
“Saya masih umur empat waktu itu. Pernah nangis karena tazos saya jatuh ke kali. Kakak saya sampai ikut jatuh waktu ngambilin,” kenangnya sambil tertawa kecil.
Memori kedua paling berkesan datang dari tutup botol Fanta. Semasa belia, saat bulan puasa, habis salat Subuh pergi keliling kampung mungutin tutup botol.
Koleksi istimewa yang ketiga: hadiah permen karet Lotte berbentuk potongan robot. Kalau beli permen itu nggak bakal langsung dapat robot lengkap.
“Kadang beli dapat bagian tubuh, kadang tangan, kadang kaki. Hampir mustahil komplet. Tapi akhirnya saya berhasil ngumpulim itu. Dan rasanya luar biasa,” ungkapnya.
Dari Galeri ke Museum
Mas Septa sadar, koleksi sebanyak itu tidak bisa selamanya disimpan untuk diri sendiri. Ia ingin berbagi kenangan pada orang lain. Saat ini ia baru punya galeri, tapi ke depan ada mimpi lebih besar.
“Impian saya bikin museum. Nanti ada zona-zonanya, tiap produk ada deskripsinya: muncul tahun berapa, hadiahnya apa, produsennya siapa,” katanya.
Impian itu tak berhenti di museum. Ia juga berencana menyusun buku ensiklopedi tentang mainan anak era 70-an sampai 90-an.
“Rencananya ada 12 buku. Sudah dimulai sejak 2023, tapi butuh proses,” jelasnya.
Penjaga Puzel Masa Lalu
Mas Septa paham betul perbedaan mainan jadul dengan mainan sekarang. Mainan dulu plastiknya lebih kuat, warnanya solid: merah ya merah, hijau ya hijau. Kalau sekarang lebih ringan, gampang patah, warnanya campur-campur.
Maka tak heran, mainan jadul masih banyak diburu. Bukan hanya karena kualitasnya, tapi karena cerita di baliknya. “Kadang kita beli bukan barangnya, tapi kenangannya,” tambahnya.
Kini, Mas Septa lebih banyak dikenal sebagai penjaga “puzel masa lalu”. Ia merangkai serpihan kecil itu menjadi koleksi utuh yang bisa mengajak orang flashback.
Dan di balik tumpukan mainan itu, tersimpan satu pesan sederhana: masa kecil memang tidak bisa diulang, tapi bisa dijaga.
Lewat mainan-mainan jadul itu, Mas Septa mengingatkan bahwa kenangan bukan sekadar nostalgia, melainkan warisan budaya yang layak dilestarikan. (bae)