PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) digagas sebagai warisan nutrisi dan prestise politik. Tujuannya mulia: anak-anak Indonesia makan sehat di sekolah, tumbuh optimal, dan nggak ngantuk saat belajar. Tapi kenyataan di lapangan: yang dikasih makan justru masuk ruang rawat. Yang kenyang justru rumah sakit.
Kita nggak sedang bercanda. Sejak awal tahun 2025, ribuan siswa dari Pandeglang sampai Nunukan mengalami keracunan makanan usai menyantap menu MBG. Yang viral: ayam marinasi. Bumbu boleh meresap, tapi bakteri ikut nebeng.
Masyarakat bertanya: kok bisa? Jawaban dari pemerintah bervariasi — dari kesalahan teknis sampai SOP yang belum sempurna. Badan Gizi Nasional (BGN) buru-buru revisi menu, mengganti ayam dengan telur. Tapi bukan cuma soal lauk. Ini tentang tata kelola.
Kenapa dapur penyedia bisa asal-asalan? Kenapa distribusi bisa molor sampai makanan jadi sarang mikroba? Kenapa pengawasan seperti tidur siang?
BGN bilang, mereka sudah pasang target “zero penyimpangan”. Tapi di lapangan, kenyataan berkata lain. Anak-anak tetap muntah, tetap pusing, tetap dirawat. Kalau ini yang disebut “zero”, definisinya perlu dibedah.
Logika Statistik & Ganti Uang Tunai
Istana lewat Mensesneg pun ikut buka suara. Katanya, jumlah yang keracunan kecil dibanding total penerima MBG yang jutaan. Jadi, tetap lanjut.
Oke, mari kita pakai logika itu di hal lain.
Kalau dari 10 juta ban mobil yang diproduksi, 5.000-nya meledak di jalan tol, apakah kita bilang itu “kecil” juga? Atau kalau dari 10 juta suntikan vaksin, 5.000 orang kolaps, kita tetap lanjut tanpa audit total?
Logika statistik jangan dipakai untuk mengabaikan hak anak atas makanan aman. Satu kasus keracunan saja sudah alarm. Ini bukan soal kuantitas, ini soal kualitas dan kepercayaan publik.
Lalu muncul ide baru: gimana kalau MBG diganti saja dengan uang tunai? Ya, menarik. Tapi juga rawan. Karena solusi “lempar uang” seringkali bukan menyelesaikan masalah, tapi membuangnya ke orang lain.
Uang tunai bisa diselewengkan, dialokasikan tidak tepat, atau dibelanjakan bukan untuk makan sehat. Ingat, tujuan awal MBG bukan cuma bikin kenyang, tapi bikin sehat. Dan itu butuh kontrol mutu, bukan cuma transfer dana.
MBG Jadi Dapur Misteri?
Para pakar pendidikan dan gizi angkat suara. Mereka bilang, ini bukan sekadar salah masak. Ini kesalahan desain. Dari spek bahan makanan, teknik penyimpanan, distribusi, sampai pengawasan semuanya perlu overhaul.
Beberapa mengusulkan agar kantin sekolah lokal dilibatkan — lebih dekat, lebih terpantau. Ada juga yang mendorong pelatihan wajib bagi pengelola dapur. Plus, sistem pelaporan cepat saat ada gejala keracunan. Bukan cuma laporan ke Dinas, tapi langsung ke orang tua, sekolah, dan media jika perlu.
Kuncinya: transparansi dan partisipasi. Jangan sampai dapur MBG jadi dapur misteri — nggak tahu siapa masak, apa yang dimasak, dan gimana cara masaknya.
MBG adalah program strategis — kalau dikelola dengan serius, bisa jadi fondasi perbaikan gizi nasional. Tapi kalau terus begini, ia bisa jadi bumerang politik dan kegagalan publik.
Presiden sudah bilang: perbaiki, audit, dan zero tolerance. Tapi kami bilang: jangan hanya zero tolerance di kertas. Harus real di lapangan. Bukan hanya target, tapi tanggung jawab.
Anak-anak Indonesia layak makan yang aman. Bukan ikut undian: hari ini makan ayam, besok rawat inap.(*)