BACAAJA, SEMARANG – Saat toko kelontong lain tutup, warung Madura masih buka. Lampunya terang, etalasenya penuh, dan penjaganya siap menyambut pelanggan.
Bagi pemilik warung Madura, kompetitor terbesar bukan lagi sesama warung, tapi minimarket modern yang kini tumbuh di hampir setiap sudut kota.
Meski begitu, kekuatan warung Madura justru ada pada hal-hal kecil yang nggak bisa digantikan mesin kasir modern: kedekatan, fleksibilitas, dan kepercayaan.
Menurut pelaku usaha, Jefri, warung Madura tetep eksis dengan cara mereka sendiri. Strategi utamanya simpel tapi ampuh: harga murah dan stok lengkap.
“Kalau stok habis, ya cari agen lain. Sekalipun jauh, tetap kita kejar,” kata Jefri saat ditemui Selasa (14/10/2025).
Dia ogah bergantung sama satu supplier doang. Soalnya paham betul kalau kemandirian adalah kunci kesuksesan.
Warung Madura juga jadi lebih dari sekadar tempat transaksi. Kadang pelanggan dateng cuma ngobrol aja, numpang cas HP, atau istirahat sebentar.
Makannya, warung yang dijaga Jefri didesain supaya ramah pelanggan. Di depan tokonya tersedia meja kursi dan stop kontak.
Strategi tradisional kayak gini yang bikin mereka tetep punya tempat spesial di hati masyarakat.
Terhubung dengan Komunitas
Warung Madura nggak berdiri sendirian. Di balik ruko dan etalase kaca yang penuh dagangan sembako, ada komunitas pedagang Madura yang saling konek.
“Setiap organisasi bisa punya sepuluh atau lebih warung,” jelas Jefri.
Nggak ada lembaga besar yang menaungi, tapi kami saling bantu. “Kalau ada yang butuh barang atau warungnya sepi, yang lain bantu,” imbuhnya.
Kekuatan komunitas ini bukan terletak di banner gede atau legalitas formal. Tapi di trust dan gotong royong. Buat mereka, sesama pedagang Madura adalah saudara di tanah rantau.
Amalan dan Tradisi
Di sela-sela kesibukan berjualan, nilai-nilai khas Madura tetep dijaga. Tiap Jumat Manis, Jefri dan temen-temennya ngelakuin amalan adat: baca surat-surat Al-Qur’an yang udah ditentuin sesepuh.
“Beda-beda tiap warung,” ujarnya. “Tapi tujuannya sama, minta kelancaran, keberkahan, dan dijauhkan dari mara bahaya.”
Tradisi ini nunjukin kalau warung bukan cuma tempat cari duit. Tapi juga ruang spiritual di mana para perantau merawat hubungan sama Tuhan dan leluhur mereka.
Barangkali ini juga bagian dari jurus dagang warung Madura. Mereka tak hanya usaha lewat jalur darat tapi juga “jalur langit”.
Mungkin bagi pedagang modern, “jalur langit” ini tak lazim. Namun, bagi warga Madura, itu bagian dari ibadah.
Bagaimana menurut Sobat Bacaaja? (dul)