BACA AJA, JAKARTA— Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian akhirnya buka suara soal gonjang-ganjing politik di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Tito terang-terangan mengaku sudah memberi perintah khusus kepada Bupati Pati Sudewo yang tengah jadi sorotan buntut kemarahan warga.
“Silakan saja kalau bupati-nya mau melakukan komunikasi dengan masyarakat, dengan cara yang lebih santun,” kata Tito usai rapat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/8/2025).
Pernyataan Tito muncul di tengah kabar rencana demo jilid II di Pati yang sudah viral lewat selebaran digital dan media sosial. Tito mengingatkan, menyampaikan pendapat itu boleh, tapi jangan sampai anarkis.
“Kalau soal pemakzulan, ada mekanismenya. Pemerintahan tetap berjalan sesuai undang-undang. Sama seperti di Jember dulu, pernah ada pemakzulan, DPRD ajukan ke Mahkamah Agung, dan MA yang jadi wasitnya,” ujarnya.
Gelombang protes sendiri memang belum reda. Setelah aksi besar pada 13 Agustus 2025 lalu yang menuntut Sudewo lengser berujung ricuh, kini panasnya kian terasa dengan ajakan aksi lanjutan yang dijadwalkan pada Rabu, 20 Agustus ini.
Sementara sampai saat ini, Bupati Sudewo masih belum terlihat ke kantor. Dalam beberapa kegiatan penting kedinasan, peran bupati dijalankan Wakil Bupati Risma Ardhi Chandra. Bahkan dalam upacara HUT Kemerdekaan ke-80 RI Minggu (17/8/2025), inspektur upacara yang seharusnya menjadi tugas bupati, digantikan Wakil Gubernur Taj Yasin didampingi Wakil Bupati Risma.
Di sisi lain, Pansus Hak Angket DPRD Pati sudah menuntaskan kerja penyelidikannya. Sejumlah temuan tentang dugaan pelanggaran etika pemerintahan, tata kelola anggaran, hingga kebijakan kontroversial Sudewo sudah dirampungkan dan dilaporkan. DPRD kini menimbang langkah formal apakah akan meneruskan hasil itu ke mekanisme pemakzulan melalui Mahkamah Agung.
Bagaimana peluangnya? Pengamat hukum tata negara, Feri Amsari, menilai langkah DPRD punya konsekuensi politik sekaligus hukum.
“MA bisa saja menolak kalau dalil yang diajukan tidak kuat secara konstitusional. Namun jika terbukti ada pelanggaran serius dalam tata kelola pemerintahan, peluang pemakzulan diterima tetap ada,” ujar Feri.
Menurutnya, pola kasus di Pati bisa mirip dengan sejumlah daerah lain yang pernah mencoba jalur pemakzulan kepala daerah.
“Ujung-ujungnya, putusan MA seringkali juga mempertimbangkan keseimbangan politik. Kalau bukti-bukti kuat, maka mekanisme bisa berjalan. Tapi kalau hanya dorongan emosional massa, MA biasanya menolak,” tambahnya.
Dengan demikian, bola panas kini ada di DPRD Pati: serius meneruskan atau berhenti di meja politik. Sementara publik Pati masih menunggu: apakah aksi jilid II hanya jadi panggung suara rakyat, atau benar-benar jadi penekan mekanisme hukum?
Baca Yang Penting! Yang penting Baca Aja.