BACAAJA, SEMARANG – Demokrasi di Indonesia ternyata punya sisi gelap yang jarang diakui: industri buzzer politik. Bukan sekadar akun anonim cerewet di media sosial, buzzer kini bekerja layaknya pasukan bayaran profesional yang bertugas menggiring opini publik sesuai pesanan.
Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro (Undip), Wijayanto, menjelaskan bahwa pasukan buzzer atau cyber troops ini bekerja secara sistematis. Definisi pasukan buzzer agak teknis dan teoritis.
“(Mereka adalah) sekumpulan aktor yang dibayar tapi dibayar ini secara rahasia enggak terang mereka mendeclare bahwa mereka dibayar yang kerjaannya adalah melakukan penggiringan opini publik, melakukan manipulasi opini publik,” ujarnya dalam acara workhop di Undip, Jumat (22/8/2025).
Fenomena ini sudah terlihat jelas dalam berbagai peristiwa politik. Saat pemilu, buzzer digerakkan untuk memenangkan kandidat tertentu.
Di luar pemilu, mereka dipakai untuk mendukung kebijakan yang kontroversial. Kasus revisi Undang-Undang KPK misalnya, saat banyak aktivis dan akademisi menolak, media sosial justru dipenuhi narasi yang mendukung revisi tersebut.
Penelitian Undip menunjukkan jumlah buzzer di Indonesia mencapai ribuan, dengan basis terbesar di Jakarta. Namun, jaringan mereka tersebar di berbagai kota. Rata-rata berusia muda, sekitar 25 tahun, berpendidikan sarjana, bahkan sebagian berasal dari kalangan aktivis dan jurnalis.
“Awalnya mereka terafiliasi pada partai tertentu, awalnya mereka relawan ya, tapi sekarang mereka makin profesional dalam arti yang penting adalah bayar,” kata Wijayanto.
Penelitian lintas negara yang melibatkan Undip dan Universitas Amsterdam mengungkap, fenomena buzzer tak hanya terjadi di Indonesia. Setidaknya 82 negara di dunia mengalami praktik serupa. Namun, karakter di Indonesia disebut lebih kompleks: buzzer tak hanya dikendalikan negara atau partai, tapi juga bisa bekerja untuk elit bisnis atau siapa saja yang mampu membayar.
Prof. Dr. WJ (Ward) Berenschot dari Universitas Amsterdam menjelaskan, fenomena buzser ini menjadi industri.
“Kerana ada banyak orang justru elit politik, elit bisnis yang mendanai tim cyber troop untuk mengemudi opini publik di sosmed. Dan itu secara diam-diam,” ujarnya.
Dengan kata lain, buzzer adalah industri terselubung yang membajak demokrasi. Publik yang berdebat di media sosial sering kali tak sadar bahwa opini mereka sedang diarahkan oleh akun-akun bayaran. Narasi yang tampak organik sejatinya adalah hasil kerja sistematis, rapi, dan berbayar.
Ironisnya, hingga kini tidak ada aturan hukum spesifik yang bisa menjerat praktik ini. Manipulasi opini publik tidak masuk kategori kriminal, selama tidak berkaitan dengan pencemaran nama baik atau pelanggaran UU ITE. Akibatnya, industri buzzer tetap berjalan mulus tanpa hambatan hukum.
Workshop internasional di FISIP Undip yang dihadiri para peneliti dari berbagai negara kemudian merekomendasikan tiga langkah: peningkatan literasi digital masyarakat, etika politik dari para elit agar tidak lagi memakai buzzer sebagai alat propaganda, serta transparansi algoritma dari platform digital agar publik tidak mudah dimanipulasi.
Namun, selama industri gelap ini terus menghasilkan uang dan melayani kepentingan elit, publik tampaknya masih harus bersiap hidup dalam ruang digital yang penuh manipulasi. Demokrasi pun makin tampak seperti panggung teater dan buzzer adalah aktor bayaran di balik layar. *bae