BACAAJA, SEMARANG – Kamu selalu mengandalkan artificial intelligence atau akal imitas (AI) untuk menyelesaikan tugas-tugasmu?
Awas, hati-hati! Selalu ngandelin AI untuk selesaikan tugas atau bikin konten, bisa mematikan otak dan kreativitasmua.
Otak mati dan kreativitas mandek karena gak pernah dipalaoi, gak pernah dilatih.
Perlu kamu tahu, sejak tiga tahun ChatGPT berdiri, pengguna aktifnya sudah menyentuh angka 700 juta orang per minggu.
Artinya, jika dibandingkan dengan populasi dunia, 1 dari 11 orang telah menggunakan ChatGPT di gadget mereka.
Sementara, Indonesia masuk dalam 10 besar negara pengguna AI tertinggi dengan total 204,4 juta kunjungan situs berdasarkan laporan Yahoo! Tech. Adapun, kalangan terbesarnya berasal dari Gen Z.
Berdasarkan Profil Internet Indonesia Tahun 2025 yang dipublikasikan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penggunaan AI yang paling dominan ada di kategori edukasi.
Meski memiliki beberapa dampak positif, seperti sarana pendukung pembelajaran, brainstorming, bertukar pikiran, hingga mengajukan pertanyaan tanpa rasa malu, AI ternyata dapat menyebabkan dampak negatif bagi otak.
Dampak negatif AI
Dilansir dari Time Magazine, Rabu (27/8/2025) peneliti di Media Lab MIT melakukan sebuah studi terhadap 54 subjek berusia 18 hingga 39 tahun di Boston.
Dibagi menjadi tiga kelompok, mereka diminta untuk menuliskan sejumlah esai menggunakan ChatGPT, Google, dan tanpa aplikasi apapun.
Hasilnya, kelompok pengguna ChatGPT memiliki keterlibatan otak terendah dan berkinerja buruk pada tingkat neutral, linguistik, dan perilaku.
Mereka cenderung hanya menyalin hasil AI karena semakin malas mengerjakan setiap esai berikutnya.
Hasilnya pun menjadi sangat mirip dengan satu sama lain, artinya tidak orisinil dan mengandalkan ide yang sama.
“Rasanya seperti, ‘berikan saja esainya, perbaiki kalimat ini, edit, dan saya selesai,'” ujar Nataliya Kosmyna, peneliti utama studi, sekaligus peneliti purnawaktu MIT Media Lab sejak 2021, dikutip dari Time Magazine, Rabu (27/8/2025).
Berbeda dengan kelompok yang memanfaatkan Google atau hanya menggunakan murni pengerjaan otak. Mereka cenderung lebih aktif dan rasa ingin tahunya besar.
Bahkan, menunjukkan konektivitas saraf yang tinggi untuk kreativitas, beban memori, hingga pemrosesan semantik.
Meski menggunakan AI dikenal efisien dan praktis, tidak ada integrasi langsung dengan jaringan memori dalam otak.
Hal ini dibuktikan melalui eksperimen ketika subjek penelitian diminta menulis ulang salah satu esai yang telah mereka buat sebelumnya. Kelompok yang awalnya menggunakan ChatGPT harus menulis ulang tanpa bantuan AI, sedangkan kelompok yang sebelumnya tidak menggunakan AI justru diperbolehkan memakainya.
Alhasil, kelompok yang awalnya menggunakan AI hanya mengingat sedikit esai yang mereka tulis. Sedangkan, kelompok murni otak dapat menunjukkan daya yang lebih baik.
Artinya, jika AI digunakan secara tepat, bisa saja mendukung pembelajaran.
“Dari sudut pandang psikiatris, saya melihat bahwa ketergantungan yang berlebihan pada LLM ini dapat menimbulkan konsekuensi psikologis dan kognitif yang tidak diinginkan, terutama bagi anak muda yang otaknya masih berkembang,” ujar Zishan Khan, seorang Psikiater yang menangani anak dan remaja.
Tidak hanya penelitian soal AI dalam konteks pembelajaran, Kosmyna juga melakukan penelitian tentang aktivitas otak pekerja dengan dan tanpa AI ketika melakukan pemrograman.
Terlebih, banyak kasus pemutusan hubungan kerja di perusahaan besar luar negeri karena mereka merasa pekerjaan berbasis teknologi sederhana bisa digantikan oleh AI.
Serupa dengan hasil penelitian sebelumnya, ternyata perusahaan dengan tingkat ketergantungan AI yang tinggi akan membuat karyawan tersisa (dari imbas PHK) tidak mampu berpikir kritis, kreatif, dan memecahkan masalah secara maksimal. (*)