KABUPETAN Pati di Jawa Tengah, sedang dilanda kegelisahan sosial. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250% yang diterapkan tahun ini memicu kemarahan masyarakat luas. Warga di berbagai kecamatan mengaku terkejut dengan tagihan PBB yang melonjak drastis dibandingkan tahun sebelumnya, tanpa adanya sosialisasi memadai.
Kondisi ini memicu perlawanan, dari aksi penolakan hingga rencana demonstrasi massal yang kini mulai digalang masyarakat.
Kebijakan kenaikan PBB ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 tahun 2024, yang ternyata disahkan pada masa kepemimpinan Penjabat (Pj) Bupati sebelumnya. Namun, penerapannya baru dimulai di era Bupati Sudewo, Bupati definitif saat ini, yang dengan tegas menyatakan tidak akan mencabut kebijakan tersebut.
Dalam beberapa pernyataannya, Sudewo bahkan terkesan menantang suara publik dengan menyebut bahwa kebijakan ini sah secara hukum dan tidak ada alasan untuk ditolak.
Pernyataan keras dari sang Bupati justru memperbesar amarah warga. “Kami ini bukan menolak bayar pajak, tapi jangan sampai mencekik,” ujar Sutikno, warga Kecamatan Gabus, yang mengaku tagihan PBB-nya naik dari Rp150 ribu menjadi hampir Rp500 ribu.
Di kalangan petani dan pedagang kecil, lonjakan itu dirasa sangat memberatkan, terutama di tengah lesunya ekonomi daerah akibat musim kemarau panjang (elnino) dan anjloknya harga komoditas pertanian.
Aksi penolakan spontan pun mulai bermunculan. Sejumlah kelompok masyarakat mulai membentuk aliansi perlawanan, yang salah satu bentuk nyatanya adalah penggalangan bantuan logistic untuk aksi demonstrasi besar-besaran ke kantor bupati dan DPRD Pati 13 Agustus 2025 nanti.
Namun, langkah ini justru memantik tindakan represif. Dana hasil donasi warga yang dikumpulkan di depan kantor kabupetan itu, dikabarkan dirampas oleh Satpol PP Kabupaten Pati, dengan alasan penertiban tanpa kejelasan hukum.
“Ini bukan hanya soal pajak, ini sudah menyentuh hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat,” kata Irfan, salah satu tokoh pemuda Pati yang ikut dalam forum perlawanan.
Menurutnya, tindakan penyitaan donasi warga untuk aksi damai merupakan bentuk intimidasi dan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.
Pemerintah Kabupaten Pati sendiri masih bergeming. Hingga saat ini, belum ada sinyal revisi atau peninjauan ulang terhadap kenaikan tarif PBB. Kepala BPKAD Pati justru menegaskan bahwa kebijakan ini sudah melalui kajian dan disahkan melalui Perda yang mengikat, meskipun lahir di masa pemerintahan sebelumnya.
Masyarakat pun mempertanyakan: jika Perda itu dianggap menyengsarakan rakyat, mengapa tidak direvisi atau ditangguhkan penerapannya?
Gejolak ini diprediksi akan terus berkembang. Beberapa elemen masyarakat telah menjadwalkan aksi turun ke jalan dalam waktu dekat. Mereka mendesak DPRD turun tangan, tidak hanya sebagai penonton, tapi sebagai representasi rakyat yang wajib menyalurkan aspirasi publik.
Kondisi di Kabupaten Pati kini ibarat bara yang siap menyala. Ketegangan antara rakyat dan pemerintah daerah semakin meruncing, dan tanpa adanya itikad dialog serta penyelesaian yang adil, bukan tidak mungkin Pati akan menjadi titik api baru perlawanan kebijakan pajak yang dianggap sewenang-wenang.
Pati sedang menulis babak baru: bukan hanya tentang angka-angka dalam surat tagihan, tetapi tentang keadilan, keberanian, dan suara rakyat yang menuntut untuk didengar.(*)