BACAAJA, BANYUMAS – Alun-alun Purwokerto Sabtu sore kemarin meninggalkan pemandangan yang tak mudah dilupakan. Pecahan kaca, batu, puing-puing, dan sampah berserakan di mana-mana, meninggalkan jejak kekacauan dari aksi massa yang berlangsung beberapa jam.
Di antara kerusakan itu, terlihat sosok Idris (63), tukang sol sepatu yang sudah puluhan tahun mangkal di bawah pohon beringin sisi timur alun-alun. Wajahnya lesu, matanya menatap kosong pada puing-puing yang berserakan.
Idris menjadi salah satu korban langsung dari kekacauan ini. Barang-barang dan alat-alat kerjanya hancur, bahkan sepatu milik pelanggan ikut raib. “Semua alat sol, kotak-kotak saya, dan sepatu milik pelanggan hilang atau dirusak,” ujarnya sambil menunduk, suaranya serak penuh keputusasaan.
Biasanya, Idris dan tiga rekannya menitipkan alat kerja di area kantor Pemkab saat menutup lapak. Selama bertahun-tahun, tempat itu aman-aman saja. Tak pernah sekalipun ada masalah, sehingga ia sama sekali tak curiga sore itu.
Tetapi kali ini berbeda. Massa yang emosi juga menjarah barang miliknya. Lebih menyedihkan lagi, beberapa sepatu pelanggan hilang, membuat Idris bingung bagaimana harus bertanggung jawab.
“Saya benar-benar bingung. Kalau pelanggan datang menanyakan sepatunya, saya tidak tahu harus bagaimana. Ada tiga pasang sepatu yang hilang. Saya tidak punya jawaban,” ungkap Idris, suaranya parau.
Meski begitu, Idris berharap bisa memulai lagi. Ia ingin mengumpulkan modal untuk kembali menekuni pekerjaannya, yang telah menjadi mata pencaharian selama hampir 40 tahun.
Di sisi lain, pasca kericuhan, alun-alun dan kawasan Pendopo Si Panji dipenuhi aktivitas bersih-bersih. Puluhan anggota TNI, Satpol PP, dan masyarakat bekerja sama mengangkat puing dan sampah, mencoba mengembalikan kawasan tersebut ke kondisi semula.
Hari Minggu yang seharusnya tenang, kantor Pemkab Banyumas juga terlihat sibuk. Pegawai Humas Protokol tampak membersihkan ruang kerja mereka yang menjadi sasaran aksi anarkis massa.
Kejadian ini meninggalkan pelajaran bagi banyak pihak: selain dampak fisik pada fasilitas umum, ada dampak sosial dan ekonomi bagi warga yang mengandalkan lapangan itu untuk mencari nafkah.
Idris dan rekan-rekannya menjadi gambaran nyata bagaimana warga biasa bisa terdampak langsung oleh aksi massa, meski mereka tidak terlibat sama sekali dalam konflik yang memanas itu.
Di tengah puing-puing dan kesedihan, kerja sama antara aparat dan masyarakat menunjukkan semangat gotong royong yang tetap hidup, meski di tengah situasi yang sulit.
“Yang penting sekarang, kita bisa mulai bersih-bersih dan mencoba kembali membangun,” kata seorang warga yang ikut membersihkan alun-alun.
Alun-alun Purwokerto perlahan kembali normal, tapi jejak haru dan pilu tetap membekas, terutama bagi mereka yang kehilangan harta dan mata pencaharian, seperti Idris.
Kisah Idris menjadi pengingat, bahwa setiap aksi massa memiliki dampak yang nyata bagi kehidupan warga sekitar, bahkan bagi mereka yang hanya menjadi penonton sehari-hari.
Dan bagi warga Purwokerto, kejadian ini menjadi pelajaran untuk tetap menjaga ketertiban dan menghargai ruang publik, agar tragedi serupa tidak terulang lagi. (*)