MALAM masih muda ketika Yandi Hermawan mengangkat kardus-kardus basah dari tumpukan, mengendus bau besi tua dan kertas lembap, lalu memasukkannya ke gerobak.
Di bawah lampu jalan yang remang, pekerjaannya tampak sederhana: mencari barang bekas yang orang lain buang. Namun di balik tangan yang kotor itu, ada tekad yang perlahan menenun mimpi besar.
Kisahnya dimulai dari rutinitas yang tak banyak orang pilih. Lulusan SMP itu bekerja bersama ayahnya sebagai pemulung — menyortir, mengantarkan barang ke pengepul, keliling dari gang ke gang. “Saya nggak bisa berbakti ke orang tua secara materi, tapi seenggaknya saya bantu pakai tenaga. Semaksimal mungkin saya bantu bapak,” ujarnya membuka lembar awal cerita hidupnya dalam podcast bersama Helmy Yahya.
Jam kerjanya aneh menurut standar kebanyakan orang: dari jam 19.00 sampai 23.00, lalu melanjutkan lagi dini hari antara pukul 03.00 hingga 05.00. Di sela-sela itu, Yandi belajar bahasa jalanan, membaca kesempatan pada setiap monitor rusak atau kabel yang terselip. Banyak yang meremehkan, banyak juga yang menghina — tapi ayahnya selalu menasihati: sabar adalah bagian dari risiko pekerjaan.
Pintu pertama menuju dunia teknologi terbuka berkat saran seorang teman ayahnya. Dari menumpuk barang bekas, Yandi mulai mengumpulkan komponen komputer yang masih bisa dipakai. Enam bulan percobaan menjadi titik balik: ia merasa cocok, menemukan ritme dan peluang. Modal awal yang ia minta kepada ayahnya bukan besar—hanya Rp8 juta, hasil jerih payahnya sendiri—tapi cukup untuk membeli kendaraan seken dan mulai berburu sparepart komputer bekas.
Keuntungan kecil per unit monitor—Rp15.000 hingga Rp20.000—tak membuatnya gentar. “Pemikiran saya simple. Gimana caranya dalam satu hari dapat uang Rp50 ribu,” kata Yandi, merangkum mentalitas tukang tunggu peluang: tekun, gesit, dan tak malu mulai dari hal kecil. Perlahan-lahan modal itu berkembang, relasi bertambah, dan keterampilan teknisnya pun menanjak.
Namun jalan sukses bukanlah lintasan lurus. Pernah ia hanya punya Rp25 ribu di kantong; istri yang sedang hamil meminta dibelikan martabak. Yandi pulang dengan sekotak martabak manis, bukan martabak telur yang diharapkan. Melihat sang istri menangis sambil makan, sesuatu di dalam dirinya retak — dan itu memicu perubahan besar. “Saya harus berubah,” begitu tekadnya saat itu.
Perubahan itu bukan sekadar ambisi. Yandi mulai serius merangkai usaha: tak hanya memperbaiki dan menjual kembali, ia merancang layanan, memperdalam pengetahuan server, dan merangkul klien yang lebih profesional. Tahun demi tahun, kerja kerasnya tersusun menjadi fondasi usaha yang layak. Pada 2010 ia mendirikan PT Sparta Computindo Teknologi — dari ruang kecil dan kendaraan seken menuju kantor, tim, dan proyek yang lebih besar.
Kini perusahaan itu memiliki dua cabang di Jakarta Timur dan menggaji lebih dari 40 karyawan. Bukan sekadar angka; di sana Yandi menyusun struktur yang memberdayakan orang lain—mereka yang mungkin punya latar serupa dengannya dulu. Dari pemulung jadi pemimpin, ia membuktikan bahwa kemampuan bukan diwariskan oleh gelar, melainkan dibentuk oleh ketekunan.
Saat ditanya soal mimpi, Yandi tak ragu: ia ingin mendirikan sekolah IT gratis dan membangun data center. Ambisinya jelas: bukan hanya mencari keuntungan, tapi memperbesar akses dan mencetak generasi yang lebih siap menghadapi era digital. Fokus perusahaan saat ini memang ada pada layanan server — fondasi yang ia pandang sebagai kunci masa depan bisnis digital.
Yang membuat kisahnya terasa kekinian adalah cara Yandi memaknai kegagalan: sebagai data untuk dievaluasi, bukan label yang mengekang. Di era startup dan nadi teknologi, ia memilih jalur bootstrapping—membangun langkah demi langkah dengan modal terbatas, kontak, dan keuletan. Model yang banyak dicontoh pengusaha muda: nimble, resourceful, dan manusiawi.
Podcast bersama Helmy Yahya menempatkan cerita itu pada panggung publik, tapi intinya tetap sederhana: bukan soal glamor, melainkan proses berulang yang mencetak kapasitas. Sekali lagi ia mengingat ayahnya, yang mengajarkan bahwa kerja keras dan sabar adalah koin dua sisi dalam hidup. Kini yang ia bagi bukan hanya keuntungan bisnis, tapi juga kesempatan belajar bagi pegawai dan komunitas.
Kisah Yandi memberi pelajaran ganda: bahwa martabak yang salah pesan bisa menjadi pemantik perubahan, dan bahwa modal terbesar seringkali bukan uang—melainkan rasa malu yang diganti menjadi tekad. Dari gerobak yang berderit sampai ruang server yang berdengung, ia menulis ulang arti layak dan mungkin.
Bukan sekadar inspirasi klise, perjalanan ini menantang stereotip tentang sukses di era modern. Di zaman yang seringkali menyanjung gelar dan label, Yandi menunjukkan: pengalaman hidup yang keras bisa menjadi sekolah terbaik—asal dipelajari dan dimanfaatkan.
Di penghujung hari, ia masih tetap berkelakar sederhana: mimpi besarnya besar, tapi caranya tetap mikir harian—bagaimana menutup target hari ini, bagaimana membantu satu pegawai tambah ketrampilan, bagaimana memecahkan satu masalah klien. Itu yang membuat langkahnya konsisten.
Cerita Yandi bukan akhir dari proses—ia masih belajar, masih bermimpi, dan masih mengumpulkan potongan-potongan kecil yang kelak akan jadi peta lebih besar. Bagi siapa pun yang sedang berada di jalan terjal, kisahnya mengingatkan: jangan remehkan pekerjaan hari ini, karena dari situ mimpi bisa tumbuh dan bergerak. (*)