BACAAJA, JAKARTA – Gelombang penutupan bank perekonomian rakyat (BPR) terus jadi sorotan sepanjang 2025. Bukan karena drama keuangan besar, tapi simpel: modal makin seret, aturan makin ketat.
Terbaru, BPR Nagajayaraya Sentrasentosa di Nganjuk resmi pamit dari dunia perbankan. Penutupan ini datang dari permintaan pemegang sahamnya sendiri. Bahasa gampangnya: daripada maksa tetap jalan, mending tutup sendiri.
OJK pun ngasih lampu hijau. Soalnya, bank kecil ini belum bisa memenuhi standar modal inti minimum. Kalau dipaksa lanjut, risikonya bisa makin runyam.
Seminggu sebelumnya, BPR Artha Kramat juga tutup buku. Alasannya hampir sama: pemegang saham mau fokus ke BPR lain yang masih satu grup. Pilih yang potensial, tinggalin yang bikin pusing.
Sebelum itu, ada kasus BPRS Gayo Perseroda di Aceh. Sudah diberi kesempatan lewat skema penyehatan, tapi tetap nggak kuat napas likuiditasnya. Akhirnya harus rela cabut izin pada September 2025.
Daftar ini makin panjang. Mulai BPRS Gebu Prima di Medan, BPR Dwicahaya Nusaperkasa di Kota Batu, sampai BPR Disky Surya Jaya di Deli Serdang — semuanya tumbang karena hal yang hampir sama: permodalan nggak beres, likuiditas nggak sehat.
Hingga Oktober 2025, sudah ada enam BPR/BPRS yang capek bertahan dan harus menyerah. Industri perbankan rakyat emang lagi diuji, apalagi persaingan digital makin menggila dan nasabah banyak pindah ke layanan yang lebih praktis.
Daftar BPR/BPRS yang resmi tutup 2025:
• PT BPRS Gayo Perseroda
• BPRS Gebu Prima
• BPR Dwicahaya Nusaperkasa
• BPR Disky Surya Jaya
• BPR Artha Kramat
• BPR Nagajayaraya Sentrasentosa
Dunia BPR memang jadi penopang UMKM, tapi kenyataannya, nggak semua bisa adaptasi cepat. Ada yang memilih mundur teratur, ada yang terpaksa tutup karena nggak bisa kejar aturan permodalan.
Pertanyaannya, setelah ini siapa lagi yang bakal menyusul? Dan apakah industri BPR bakal bisa bangkit dengan strategi baru?
Yang jelas, buat bank kecil saat ini, tahan banting itu wajib — kalau nggak, ya ikut ambyar. (*)


