BACAAJA, SEMARANG – Setiap pagi, Vanisa (38) masih punya rutinitas yang sama. Mengantar dua anaknya ke sekolah. Bedanya, ia tak lagi berangkat kerja seperti dulu.
Hampir dua dekade ia menjadi staf administrasi di PT Sri Rejeki Isman alias Sritex. Statusnya pekerja tetap. Begitu juga suaminya, sama-sama buruh di pabrik tekstil terbesar di Sukoharjo itu.
Namun sejak PHK massal, hidup mereka jungkir balik. Dua-duanya dipecat, kehilangan pekerjaan. Dua-duanya kehilangan penghasilan.
“Sekarang suami kerja serabutan. Apa saja yang penting bisa buat hidupi keluarga,” kata Vanisa, saat ditemui usai aksi buruh di depan kantor Gubernur Jateng, Rabu (24/9/2025).
Harapan sempat tumbuh ketika ada janji dari pemerintah. Katanya, pekerja bakal dipekerjakan kembali. Bahkan ia mengaku sudah tanda tangan kontrak.
“Ternyata cuma bohong. Sampai sekarang nggak ada realisasi,” ucapnya lirih.
Kekecewaan makin dalam ketika pesangon juga tak kunjung cair. Padahal waktu PHK dulu, janjinya Agustus 2025 beres. Nyatanya, sudah September belum ada kepastian.
“Kalau tanya, malah dilempar-lempar. Kurator juga nggak ada target. Harusnya kalau bilang selesai September ya buktikan,” tegasnya.
Situasi semakin sulit karena Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sudah habis. Untuk iuran kesehatan, mereka kini harus bayar mandiri. Tentu butuh uang, sementara pemasukan tak menentu.
Dua anaknya juga ikut terdampak. Biaya sekolah terus jalan, sementara orang tua mereka hidup serabutan. “Kami minta pemerintah serius. Segera realisasikan pesangon. Jangan cuma janji,” pinta Vanisa.
Kisah Vanisa hanyalah satu dari ribuan buruh eks Sritex. Mereka sama-sama menunggu janji ditepati, bukan sekadar kata-kata manis. (bae)