KHUSUS di Semarang, banjir bukan lagi bencana musiman, melainkan fenomena struktural yang merefleksikan betapa rapuhnya tata kelola ruang di kawasan pesisir. Proyek demi proyek telah dijalankan, mulai dari pembangunan tanggul, penambahan pompa air, hingga normalisasi sungai, namun semua terasa parsial.
Setiap kali genangan muncul, yang mengalir bukan hanya air, tetapi juga pertanyaan publik: sampai kapan kota ini dibiarkan terus basah oleh janji-janji yang belum kering?
Pemerintah pusat kini menggulirkan gagasan besar: pembangunan Great Sea Wall, tembok laut raksasa yang diklaim sebagai benteng utama menghadapi naiknya permukaan air laut dan ancaman banjir pesisir. Proyek ambisius ini diharapkan melindungi pantai utara Jawa, termasuk Semarang, dari kerusakan yang kian parah akibat abrasi dan rob.
Secara konsep, Great Sea Wall terdengar menjanjikan. Namun, kita perlu jujur bahwa sebuah dinding tidak otomatis menjawab akar persoalan banjir. Ia mungkin menahan air laut dari luar, tetapi tidak akan mampu menyelesaikan persoalan air dari dalam: saluran drainase yang buruk, sungai yang dangkal, lahan resapan yang menyusut, serta penurunan muka tanah yang kian masif akibat eksploitasi air tanah tanpa kendali.
Masalah Baru
Lebih jauh, proyek berskala besar seperti Great Sea Wall juga berpotensi menimbulkan masalah baru jika tidak dirancang dengan sensitif terhadap lingkungan dan sosial masyarakat pesisir.
Ekosistem mangrove bisa terancam, kawasan nelayan bisa kehilangan akses ke laut, dan pola hidup masyarakat pesisir bisa terganggu. Dinding raksasa bukan sekadar struktur beton; ia juga simbol dari arah kebijakan, apakah kita sedang membangun perlindungan, atau justru menutup mata dari akar masalah.
Yang diperlukan bukan hanya dinding tinggi, tetapi rencana besar yang terintegrasi. Great Sea Wall semestinya menjadi bagian dari strategi nasional pengelolaan pesisir utara Jawa, yang menggabungkan kebijakan tata ruang, konservasi ekosistem, serta penataan ulang kawasan perkotaan yang sudah terlalu padat.
Tanpa sinergi kebijakan lintas daerah, lintas kementerian, dan lintas sektor, proyek sebesar apa pun akan menjadi tambal sulam yang cepat lapuk.
Kita juga perlu memastikan bahwa pendekatan pembangunan tidak hanya berorientasi pada fisik, tetapi juga pada daya tahan sosial masyarakat. Program adaptasi masyarakat pesisir, peningkatan kapasitas drainase kota, dan revitalisasi mangrove semestinya berjalan beriringan dengan proyek besar seperti Great Sea Wall. Tanpa itu, tembok megah hanya akan menjadi monumen kebanggaan yang tak mampu menahan realitas.
Warga pesisir Jawa Tengah, terutama di Semarang, sudah terlalu sering mendengar janji perbaikan. Yang mereka butuhkan sekarang adalah tindakan nyata dan keberanian politik untuk menata ulang kota secara menyeluruh. Tidak ada kota yang modern jika setiap hujan masih membuat warganya terperangkap di genangan. Tidak ada pembangunan berkelanjutan jika masyarakat pesisir terus menjadi korban dari tata ruang yang tak berpihak.
Great Sea Wall mungkin penting, tetapi bukan jawaban tunggal. Solusi sejati ada pada kemauan untuk menata ulang arah pembangunan yang selama ini hanya berlari mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan.
Karena sejatinya, yang sedang kita hadapi bukan hanya naiknya permukaan laut, tetapi juga turunnya komitmen kita menjaga bumi tempat kita berpijak.
Air mungkin akan selalu datang. Namun masa depan pesisir Jawa Tengah bergantung pada pilihan kita hari ini: apakah membangun dinding yang kokoh, atau membangun kebijakan yang berpihak pada manusia dan alam. (*)


