INDONESIA punya lebih dari 6.000 desa wisata. Angkanya fantastis, tapi jangan buru-buru tepuk tangan. Data Kemenparekraf lewat Jaringan Desa Wisata (Jadesta) per akhir 2024 nunjukkin fakta getir: mayoritas masih level rintisan (4.703 desa), sebagian kecil berkembang (992 desa), sedikit yang maju (314 desa), dan hanya 33 desa yang sudah mandiri. Bayangin, kurang dari 1%!
Artinya, desa wisata memang ada di atas kertas, tapi di lapangan belum semua benar-benar berdaya. Banyak desa hanya “nempel nama wisata” biar keren, tapi belum punya tata kelola, promosi, apalagi pemberdayaan masyarakat yang kuat.
Potensi Besar tapi Masih Setengah Jalan
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, dengan lugas menyebut pentingnya standardisasi desa wisata. Bukan biar semua desa jadi seragam, tapi biar jelas hak dan levelnya: perintis, berkembang, maju, atau mandiri. Dari situ, bantuan pemerintah bisa lebih adil dan terukur.
“Setiap desa harus punya identitas khas, bukan meniru desa lain,” tegas Evita saat kunjungan ke Galeri Sentra Batik Gunung Pati, Semarang, Jumat (26/9/2025).
Evita juga wanti-wanti soal SDM dan promosi digital. Pelaku usaha di desa wisata perlu dilatih bikin konten kreatif biar pasar mereka nggak mentok di lokal, tapi bisa tembus nasional bahkan global. Desa wisata tanpa promosi digital? Bisa jadi museum hidup yang sepi pengunjung.
Klasifikasi Itu Bukan Formalitas
Anggota Komisi VII, Samuel Wattimena, ikut menekankan bahwa standardisasi penting untuk pemetaan potensi dan kebutuhan tiap desa. Ada wisatawan yang suka nuansa natural desa rintisan, ada juga yang butuh fasilitas komplit ala desa mandiri. Jadi, klasifikasi bukan sekadar stempel, tapi panduan buat arah pengembangan.
“Warga desa harus paham kapasitas, hak, dan kewajiban mereka. Dari situ baru kelihatan kebutuhan anggarannya,” ujar Samuel.
Ia juga nyoroti pentingnya dukungan pemerintah daerah agar desa wisata nggak sekadar jadi proyek jangka pendek, tapi betul-betul menopang kemandirian ekonomi masyarakat sekaligus ramah lingkungan.
Masyarakat Jangan Cuma Jadi Penonton
Masalah klasiknya? Masyarakat sering cuma jadi penonton. Ketua Tim Kunker Panja Standardisasi Komisi VII DPR RI, Rycko Menoza, blak-blakan bilang, “Masyarakat terlihat belum terlibat langsung.”
Temuan itu muncul saat Komisi VII meninjau Kampung Wisata Baselang Bakung Jaya di Jambi.
Kalau masyarakat sekitar nggak ikut naik kelas, desa wisata cuma jadi proyek elitis. Padahal logikanya sederhana: satu desa maju bisa jadi pemantik bagi desa-desa tetangga. Tapi kalau hanya “nampang nama”, ya ekonomi lokal tetap stagnan.
Jangan Ikut Tren, Lihat Potensi Nyata
Anggota Komisi VII dari Fraksi Golkar, Siti Mukaromah, mengingatkan: bikin desa wisata jangan ikut-ikutan tren. Harus berbasis kebutuhan dan potensi warga setempat. Kalau dipaksakan, hasilnya cuma desa wisata “instan” yang cepat booming tapi juga cepat tenggelam.
Standar ini, kalau serius dijalankan, bisa jadi game-changer: desa wisata dengan identitas kuat, dikelola berbasis komunitas, dan berkontribusi langsung ke ekonomi warga.
Standardisasi Bukan Checklist Formalitas
Pertanyaannya: apakah standardisasi ini beneran jadi alat pemerataan, atau sekadar checklist administrasi biar proyek jalan? Jangan sampai desa wisata jadi proyek seragam—semua punya gerbang warna-warni, mural klise, atau panggung tari dadakan—tapi kehilangan identitas lokal.
Desa wisata harus jadi cerita unik. Ada yang unggul di batik, kuliner, alam, budaya, atau bahkan teknologi hijau. Kalau semua dipaksa mirip, yang muncul cuma “copy-paste desa wisata” yang kehilangan daya tarik.
Standardisasi desa wisata jelas langkah penting. Tapi ingat, standarisasi harus jadi alat pembeda—bukan penyamarataan. Masyarakat mesti dilibatkan, promosi digital harus digencarkan, dan potensi lokal jangan diabaikan. Kalau dikelola serius, desa wisata bisa jadi mesin ekonomi baru. Kalau cuma ikut tren? Jangan kaget kalau desa wisata hanya tinggal nama di brosur.(*)