BACAAJA, NEW YORK – Debat Umum Sidang Majelis Umum PBB ke-80 tahun ini terasa panas. Bukan hanya karena isu Gaza yang terus jadi sorotan dunia, tapi juga karena komentar pedas Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menyinggung langsung pidato Presiden Indonesia Prabowo Subianto.
Netanyahu menyebut dirinya mencatat dengan seksama “kata-kata penuh semangat” dari Presiden RI, sambil menegaskan bahwa Indonesia, dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, punya potensi menentukan arah politik Timur Tengah.
Dalam pidatonya, Netanyahu kembali mengangkat narasi klasik: kerja sama dengan Israel disebutnya sebagai pintu bagi negara-negara Arab dan Muslim untuk mengakses teknologi canggih, mulai dari pertanian, sains, air, kedokteran, pertahanan hingga artificial intelligence. Ia bahkan percaya dalam beberapa tahun ke depan, “Timur Tengah akan terlihat berbeda” dengan kehadiran para “pembawa damai yang berani.”
Salahkan Hamas
Namun, di balik janji manis itu, Netanyahu justru memantik gelombang kritik. Saat membantah tudingan bahwa Israel sengaja membuat rakyat Gaza kelaparan, ia mengklaim negaranya memasok lebih dari dua juta ton makanan per hari. Tuduhan kelaparan, menurutnya, terjadi karena Hamas “mencuri dan menjual bantuan dengan harga tinggi.”
Fakta di lapangan berkata lain. Data dari Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan hingga awal September 2025, sudah 404 orang meninggal akibat malnutrisi, termasuk 141 anak-anak. Dalam 24 jam terakhir saja, lima orang tewas karena kelaparan. Sepanjang Agustus, rekor kematian akibat kelaparan mencapai 185 orang—angka tertinggi sejak blokade Israel diperketat Maret lalu. Lebih dari 43.000 balita dan 55.000 ibu hamil serta menyusui dilaporkan menderita malnutrisi.
Indonesia tidak tinggal diam. Presiden Prabowo dalam pidatonya sehari sebelumnya menekankan pentingnya solusi damai yang adil dan penghentian kekerasan di Gaza. Menteri Luar Negeri RI Sugiono bahkan menegaskan, “Visi apa pun di Timur Tengah harus dimulai dari pengakuan atas kedaulatan Palestina. Kita tidak akan bicara selain itu.”
Reaksi Ribuan Warga
Reaksi internasional terhadap Netanyahu juga keras. Ribuan warga New York turun ke jalan dari Times Square hingga East River, membawa bendera Palestina dan poster “Free Palestine”. Di dalam ruang sidang PBB, puluhan delegasi walk out, meninggalkan Netanyahu berbicara di ruangan yang setengah kosong. Beberapa pengunjuk rasa bahkan membawa boneka Netanyahu dengan tangan diborgol, simbol tuntutan agar ia diadili di ICC atas dugaan kejahatan perang.
Aksi ini nyambung dengan janji politik kandidat wali kota New York, Zohran Mamadani, yang berkomitmen menegakkan surat perintah penangkapan ICC untuk Netanyahu. Meski secara hukum sulit terealisasi karena AS bukan anggota ICC, simbol perlawanan itu semakin mempertebal isolasi internasional terhadap Israel.
Netanyahu sendiri menutup pidatonya dengan pernyataan kontroversial: Israel harus “menyelesaikan pekerjaan” di Gaza. Ia bahkan mengklaim pasukannya berhasil meretas ponsel warga Gaza untuk menyiarkan langsung pidatonya. Langkah ini dinilai provokatif, sementara Juru Bicara PBB Stephane Dujarric mengingatkan fokus seharusnya pada kemanusiaan, bukan propaganda.
Di sisi lain, dukungan terhadap Palestina semakin menguat. Para diplomat dari 24 negara yang tergabung dalam Hague Group menggelar pertemuan darurat di New York, membahas opsi sanksi terhadap Israel. Dukungan datang dari Kolombia, Afrika Selatan, Turki, Brasil, Irlandia, Spanyol, hingga Arab Saudi. Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour menegaskan, “Jika dunia gagal bertindak, anak-anak akan terus terbunuh, dilaparkan, dan masa depan mereka dihancurkan.”
Situasi ini makin menunjukkan betapa isolasinya posisi Israel di panggung internasional. Sementara Prabowo menjaga konsistensi Indonesia dalam mendukung Palestina, dunia internasional semakin keras menuntut akuntabilitas Israel. PBB pun jadi saksi bahwa perlawanan terhadap agresi bukan lagi sebatas wacana, melainkan suara global yang makin tak terbendung.(*)