BACAAJA, PURBALINGGA – Nuansa kemerdekaan terasa beda di dalam tembok Rutan Kelas IIB Purbalingga. Minggu (17/8/2025), suasana haru dan harap bercampur saat 149 warga binaan mendapat remisi dalam rangka HUT ke-80 Republik Indonesia.
Dari total itu, 69 orang menerima remisi umum dan 80 lainnya mendapat remisi dasawarsa — sebuah kesempatan untuk menata ulang hidup dan memetik pelajaran dari masa lalu.
Upacara berlangsung sederhana tapi bermakna: Bupati Fahmi M. Hanif secara simbolis menyerahkan remisi bersama Kepala Rutan Ridwan Susilo. Sederhana, tapi pesannya kuat: kemerdekaan juga bagi yang sedang menata kembali hidupnya.
Bupati Fahmi menyampaikan sambutan Kementerian Hukum dan HAM, menekankan bahwa remisi adalah bentuk penghargaan atas disiplin dan partisipasi warga binaan dalam program pembinaan. “Remisi bukan cuma pemotongan hukuman; ini tanda bahwa proses pembinaan berjalan dan memberi hasil,” ujarnya.
Di sisi lain, Kepala Rutan Ridwan menegaskan komitmen rutan untuk jadi tempat pembinaan, bukan sekadar menampung. Ia bilang bahwa upaya pembinaan meliputi pendidikan, pelatihan keterampilan, kegiatan keagamaan, sampai penguatan mental agar saat keluar nanti warga binaan punya bekal agar tak kembali ke jalan yang salah.
Kondisi rutan sendiri lagi jadi PR besar, penghuni tercatat 164 orang — 59 tahanan dan 105 narapidana, dengan perbandingan gender 6 perempuan dan 158 laki-laki — sehingga overkapasitas tetap jadi tantangan. Meski begitu, petugas berusaha maksimal supaya layanan pembinaan tetap jalan.
Kegiatan remisi juga diwarnai kunjungan ke stan kerajinan warga binaan. Produk-produk buatan mereka ditampilkan sebagai bukti nyata bahwa pembinaan vokasi berjalan — bukan sekadar teori. Para tamu punya kesempatan melihat langsung proses kreatifnya.
Hadir dalam acara itu Wakil Bupati, jajaran Forkopimda, Ketua dan Wakil Ketua TP PKK, Sekda, serta para asisten. Kehadiran mereka memberi pesan bahwa pembinaan warga binaan mendapat perhatian lintas sektor, bukan urusan internal rutan semata.
Beberapa keluarga warga binaan tampak hadir, menambah suasana haru. Momen remisi jadi ajang harap-harap cemas sekaligus bangga; harap agar anggota keluarga bisa segera pulih perannya, bangga melihat perubahan kecil yang sudah terjadi.
Di akhir acara, pesan yang diulang-ulang adalah soal kesempatan kedua: remisi diharapkan jadi titik balik. Baik pemerintah daerah maupun pengelola rutan menyampaikan harapan sama — semoga remisi yang diberikan memantik komitmen untuk hidup lebih baik setelah bebas.
Singkatnya, remisi bukan hanya angka di surat keputusan. Bagi 149 orang itu, remisi adalah sinyal: ada jalan untuk berubah, dan masyarakat — kalau didukung — bisa jadi bagian dari proses reintegrasi. (*)